Eksplorasi.id – Peraturan Menteri Keuangan No 107/2015 (PMK 107/2015) membuat harga minyak mentah dari dalam negeri jadi lebih mahal ketimbang minyak mentah impor.
Pasalnya, regulasi itu membebankan Pajak Penghasilan (PPh) sebesar 1,5 persen hingga 3 persen kepada kontraktor migas di Indonesia yang menjual minyaknya kepada PT Pertamina (Persero).
Hal itu diungkapkan Senior Vice President (SVP) Integrated Supply Chain (ISC) Pertamina Daniel Purba di Kantor Pusat Pertamina, Jakarta, Rabu (21/9).
“Akibat PMK 107/2015, pembelian kami sebagian dari KKKS (Kontraktor Kontrak Kerja Sama) melalui trading arms di Singapura kena pajak 3 persen,” ungkap Daniel Purba.
Dia menjelaskan, selama ini KKKS seperti Chevron, Total E&P Indonesie, Petro China, dan sebagainya melakukan penjualan minyak lewat trading arms atau perusahaan perpanjangan tangan yang khusus melakukan kegiatan jual beli minyak mentah. Trading arms tersebut umumnya berkedudukan di Singapura.
Menurut Daniel, untuk penjualan melalui trading arms yang berada di Indonesia, dikenakan pajak 1,5 persen. Sedangkan jika trading arms berada di luar negeri, pajaknya lebih besar lagi, yakni 3 persen. Akibatnya, harga minyak dari Tanah Air menjadi lebih mahal dibanding minyak impor.
“Masalahnya, semua perusahaan hulu migas besar melakukan penjualan lewat trading arms. Chevron, Total, Petro China punya trading arms. Kami harus beli ke trading arms. Kalau trading arms di luar kami kena pajak 3 persen,” jelas dia.
Daniel berkomentar, beleid buatan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) ini membuat Pertamina lebih memilih minyak impor ketimbang membeli minyak lokal. Pasalnya, minyak impor tidak dikenai pajak sebesar itu. “Harganya jadi lebih murah,” ujar dia.
Daniel berpendapat, jika pajak sebesar 1,5-3 persen itu dihapus, pengadaan minyak Pertamina dari dalam negeri bisa bertambah sampai 200 ribu barel per hari (bph).
Saat ini, perseroan baru bisa memasok minyak dalam negeri sebanyak 12 ribu bph. Sedangkan impor minyak mencapai 400 ribu bph. “Penghapusan PMK 107/2015 bisa menekan impor minyak hingga 50 persen,” kata dia.
Dia menambahkan, semestinya minyak dari Indonesia yang dibawa kontraktor ke luar negeri yang dipajaki, bukan minyak dari dalam negeri yang dijual ke dalam negeri. “Itu sudah dipraktikkan oleh negara lain, misalnya Malaysia,” ujarnya.
Daniel mencontohkan, Malaysia mengenakan pajak sebesar 3 persen hingga 5 persen untuk minyak dari negaranya yang dibawa oleh kontraktor ke luar negeri. Itu dilakukan untuk mendorong kontraktor menjual minyaknya ke Petronas. “Dengan begitu, impor minyak mentah bisa ditekan,” jelasnya.
Reporter : Ponco Sulaksono
Comments 2