Eksplorasi.id – Direktur Eksekutif Center of Energy and Resoucers Indonesia (CERI) Yusri Usman mengungkapkan bahwa telah terjadi kesalahan kasat mata yang dilakukan oleh PT Tri Wahana Universal (TWU) ketika membeli minyak dari Lapangan Banyu Urip di Blok Cepu.
“Pertama, TWU jelas-jelas tidak membeli lewat tender. Kedua, harga beli rata-rata minyak nasional (Indonesia Crude Price/ICP) minus transportation cost (toll fee pipa) dari plant gate ke Tuban, di mana penetapan diskon terkait toll fee ini tidak ada patokan yang jelas,” kata dia kepada Eksplorasi.id, Selasa (7/6).
Yusri menambahkan, kesalahan ketiga adalah dengan diambilnya crude di plant gate, maka pipa yang di rancang untuk mengangkut minyak sebanyak 165 ribu BOPD dari Central Production Facility (CPF) ke Tuban menjadi under capacity alias over design.
“Lalu kesalahan keempat, kontrak awal ke TWU awalnya adalah hanya untuk minyak yang berasal dari Early Production Facility (EPF), karena saat itu belum dibangun pipa dari Banyu Urip ke Tuban. Tapi kemudian kontrak tersebut di extend oleh pimpinan SKK Migas berlanjut untuk minyak dari CPF. Kembali ini dilakukan tanpa tender dan tanpa koreksi harga,” ungkap dia.
Baca juga: http://eksplorasi.id/ingin-beli-minyak-murah-tiru-pola-twu/
Menurut Yusri, kesalahan yang dilakukan poin dua, tiga, dan empat jelas memperlihatkan adanya kerugian negara. Di satu sisi, imbuh dia, dirinya pun meragukan pernyataan Kepala SKK Migas Amien Sunaryadi yang menyatakan kilang mini TWU telah menggerakkan perekonomian masyarakat sekitar.
“Perekonomian rakyat mana yang bergerak? Saya meragukan kajian lembaga UGM yang diekspos seolah-olah hasil aktivitas kilang TWU. Kemungkinan telah terjadi manipulasi hasil kajian akibat aktivitas Exxon Mobil di Blok Cepu yang digunakan untuk data efek kilang TWU. Kalau mau rekayasa sedikit cerdaslah,” tegas dia.
Yusri berpendapat, semestinya hasil produksi dari Banyu Urip diprioritaskan untuk kilang milik Pertamina, bukan TWU. Alasannya, Pertamina memiliki komposisi saham yang sama besar dengan Exxon di Blok Cepu.
“Perlu diketahui juga, dalam rencana pengembangan (Plan of Development/ POD) Blok Cepu tidak ada rencana pembangunan kilang mini TWU. Sehingga sudah benar pendapat Elan Biantoro saat masih menjabat sebagai kepala Bagian Humas SKK Migas bahwa SKK Migas tetap berkukuh bahwa TWU harus melakukan pembelian di FSO Gagak Rimang.
“Sebagai ‘penumpang gelap’, semestinya TWU ikut aturan harga ICP Arjuna di FSO Gagak Rimang. Kalau TWU boleh beli minyak dengan ‘harga diskon’, itu menandakan adanya intervensi kekuasaaan yang merugikan negara,” ujar dia.
Yusri pun coba memberikan contoh bahwa saat ini Pertamina masih kesulitan mengimpor minyak mentah untuk kilang miliknya. “Lihat saja salah satu alasan Pertamina memilih Rosneft sebagai mitranya untuk membangun kilang Tuban karena adanya iming-iming tawaran aktivitas upstream 35 ribu BOPD. Ini menjadi aneh, di kampung halaman ada produksi 165 ribu BOPD tetapi malah dikasih ke swasta, sementara 35 ribu BOPD yang belum jelas malah dikejar-kejar. Ini tata kelola migas yang keblinger. Ibarat kambing kurus di seberang pulau dikejar kejar, sapi gemuk di halaman dikasih sama tamu untuk disembelih,” katanya.
Berdasarkan perhitungan CERI, kalau produksi Blok Cepu udah mencapai puncaknya 165 ribu BOPD, bahkan bisa menyentuh level 185 ribu BOPD, maka bisa jadi volume bagian negara plus Perusda ditambah Pertamina bisa mencapai 130 ribu BOPD.
“Nah kalau ini masuk ke kilang Pertamina tentu sangat membantu efisiensinya. Tapi kalau kemudian dijual keluar dan bukan ke Pertamina, maka tidak salah kata publik ini kerja konsep mafia. Kalau Pertamina sudah kelebihan pasokan bolehlah membantu kilang TWU. Tapi saat ini Pertamina sedang membutuhkan banyak pasokan minyak. Kok fakir miskin bantu orang kaya. Perlu diketahui juga, negara kita saat ini bisa dikategorikan sebagai fakir miskin dalam migas karena impor minyak sampai 800 ribu barel per hari,” jelasnya.
Heri
Pak Yusri aneh, selama kesepakatan kontrak dengan Pertamina terpenuhi yaa gk masalah dong!