Eksplorasi.id – Langkah pemerintah untuk merevisi Peraturan Pemerintah (PP) No 44/2005 tentang Tata Cara Penyertaan dan Penatausahaan Modal Negara pada BUMN, sebagaimana yang tertuang dalam PP No 72/2016 yang dirilis persis pada penghujung 2016, mendapat kritik keras Wakil Ketua DPR Fadli Zon.
“PP No 72/2016, yang melonggarkan tata cara penyertaan modal negara dan pengalihan kekayaan negara pada BUMN dengan tanpa harus melalui persetujuan DPR, jelas bermasalah. Aturan itu bahkan bisa mengarah kepada pelanggaran konstitusi yang serius. Sebab, semua hal yang terkait dengan masalah keuangan dan kekayaan negara merupakan obyek APBN, yang pembahasannya, sesuai dengan UUD 1945 Pasal 23, harus dibahas dan disetujui oleh DPR,” kata dia dalam keterangan tertulis yang diterima Eksplorasi.id, akhir pekan lalu.
Anggota dewan dari Fraksi Partai Gerindra ini mengatakan, sebagai objek APBN, maka setiap bentuk pengambilalihan atau perubahan status kepemilikan saham yang termasuk kekayaan negara haruslah sepengetahuan dan mendapatkan persetujuan DPR.
“Itu juga merupakan ketentuan UU No 17/2003 tentang Keuangan Negara, dan UU No 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara. Pemerintah tidak bisa seenaknya merusak mekanisme ketatanegaraan dengan menyusun aturan yang bertentangan dengan undang-undang, dan bahkan konstitusi,” tegas dia.
Dia menambahkan, dalam catatan dirinya, PP No 72/2016 merupakan upaya lanjutan untuk menggunting pengawasan DPR terhadap BUMN, di mana upaya-upaya awalnya sudah lama dilakukan pemerintah. Untuk membiayai program infrastruktur, misalnya, pemerintah yang sedang tidak punya uang telah mendorong BUMN untuk membuat utang utang sendiri, seperti yang dilakukan sejak 2015 lalu”
“Apa yang dilakukan pemerintah terhadap BUMN dalam kaitannya dengan proyek pembangunan infrastruktur ini bisa dianggap sebagai bentuk fait accompli terhadap pengawasan DPR. Sebab, di atas kertas setiap utang luar negeri pemerintah seharusnya melalui persetujuan DPR,” jelas dia.
Namun, lanjut dia, dengan melempar utang itu ke BUMN, dengan menjadikan seolah berbagai proyek pembangunan infrastruktur adalah proyek B to B dari BUMN, maka persetujuan DPR itu seolah tidak lagi diperlukan. Kini, pengguntingan peran DPR itu ingin dilakukan juga dalam kaitannya dengan pengalihan kekayaan negara.
“Pemerintah seolah ingin berjalan tanpa kontrol. Ini berbahaya sekali. Saya masih melakukan kajian, tapi penerbitan PP No 72/2016 ini menurut saya ada kaitannya dengan rencana Kementerian BUMN yang meminta PT Pertamina (Persero) untuk mengakuisisi PT PGN Tbk (Persero). Itu sudah jadi kontroversi dalam dua tahun terakhir, karena banyak sekali keanehan dalam rencana itu,” ujar dia.
Fadli Zon berkomentar, Pertamina adalah perusahaan negara yang seratus persen sahamnya dimiliki pemerintah, sementara PGN adalah BUMN yang sudah go public dan sebagian sahamnya dimiliki asing. Sebelum Pertamina mengakuisisi PGN, sebelumnya PGN akan mengakuisisi terlebih dahulu Pertagas, anak perusahaan Pertamina yang core business-nya sama dengan PGN.
“Kerumitan itulah yang selama ini disebut oleh menteri BUMN sebagai usaha untuk membangun holding BUMN migas. Ada banyak hal yang ganjil terkait rencana itu. Dan semua keganjilan itu kini ingin diloloskan dari pengawasan dan kontrol DPR melalui penerbitan PP No 72/2016. Ini tidak boleh dibiarkan,” katanya.
Dia menambahkan, perlu penjelasan dari pemerintah mengenai hal ini. Supaya tidak ada yang ditutup-tutupi, semua harus diteliti dan didalami, agar jelas duduk perkaranya.
“Jangan sampai kekayaan negara kita, imbuh dia, baik yang berupa kekayaan alam, maupun BUMN, sedikit demi sedikit kemudian tidak lagi berada dalam penguasaan dan kontrol negara karena aksi yang gegabah dari Kementerian BUMN. Sudah cukup kasus lepasnya Indosat dulu, jangan lagi kebodohan serupa kini diulangi lagi,” ujarnya.
Reporter : HYN