Eksplorasi.id – Manajemen PT Freeport Indonesia (PTFI) diminta tidak menggunakan isu memecat pegawainya sebagai alat untuk menekan pemerintah Indonesia.
Menteri ESDM Ignasius Jonan mengatakan, langkah PTFI yang ingin membawa persoalan perubahan kontrak karya (KK) menjadi izin usaha pertambangan khusus (IUPK) ke jalur arbitrase merupakan hak perseroan.
Pemerintah, lanjut Jonan, berharap tidak berhadapan dengan siapa pun secara hukum, karena apa pun hasilnya dampak yang ditimbulkan akan kurang baik dalam sebuah relasi kemitraan.
“Namun itu langkah yang jauh lebih baik daripada selalu menggunakan isu pemecatan pegawai sebagai alat menekan Pemerintah,” kata Jonan dalam keterangan tertulisnya, akhir pekan lalu.
Penjelasan Jonan, pemegang KK dapat melanjutkan usahanya seperti sedia kala dan tidak wajib mengubah perjanjian menjadi IUPK, sepanjang pemegang KK tersebut melakukan pengolahan dan pemurnian (hilirisasi) dalam jangka waktu lima tahun sejak UU Minerba No 4/2009 diundangkan (pasal 169 dan pasal 170).
“Namun, bila pemegang KK belum melakukan hilirisasi sebagaimana dimaksud dalam UU Minerba tersebut, maka pemerintah menawarkan kepada semua pemegang KK yang belum melakukan hilirisasi (membangun smelter) untuk mengubah KK menjadi IUPK,” jelas dia.
Dia menambahkan, sesuai Pasal 102-103 UU No 4/2009, perseroan akan tetap mendapat izin melakukan ekspor konsentrat dalam jangka waktu lima tahun sejak PP No 1/2017 diterbitkan. “Namun mereka tetap diwajibkan membangun smelter dalam jangka waktu lima tahun,” ujar Jonan.
Penegasan Jonan, PTFI menolak untuk mengubah perjanjian dari KK menjadi IUPK. Pemerintah, terang dia, memberikan hak yang sama di dalam IUPK dengan yang tercantum di dalam KK, selama masa transisi perundingan stabilitas investasi dan perpajakan dalam enam bulan sejak IUPK diterbitkan.
Namun PTFI menyatakan tetap menolak IUPK dan menuntut KK tetap berlaku. PTFI pun telah mengajukan rekomendasi ekspor melalui surat No 571/OPD/II/3017 tanggal 16 Februari 2017 dengan menyertakan pernyataan komitmen membangun smelter. Sesuai IUPK yang telah diterbitkan, dirjen Minerba menerbitkan rekomendasi ekspor pada 17 Februari 2017.
“Menurut informasi yang beredar PTFI juga menolak rekomendasi ekspor tersebut. Saya berharap kabar tersebut tidak benar karena pemerintah mendorong PTFI agar tetap melanjutkan usahanya dengan baik, sambil merundingkan persyaratan-persyaratan stabilisasi investasi,” ujarnya.
Di satu sisi, Jonan pun berharap PTFI tetap sepakat dengan adanya ketentuan divestasi 51 persen yang tercantum dalam perjanjian KK yang pertama antara pemerintah dengan PTFI, yang juga tercantum dalam PP No 1/2017.
Meski menurut Jonan ada perubahan ketentuan divestasi di dalam KK yang terjadi pada 1991, yaitu menjadi 30% karena alasan pertambangan bawah tanah.
“Namun divestasi 51 persen adalah aspirasi rakyat Indonesia yang ditegaskan oleh Bapak Presiden, agar PTFI dapat bermitra dengan pemerintah sehingga jaminan kelangsungan usaha dapat berjalan dengan baik dan rakyat Indonesia serta rakyat Papua khususnya,” jelasnya.
Berbeda dengan PTFI, PT Amman Mineral Nusa Tenggara (AMNT) menyatakan setuju untuk mengubah perjanjian dari KK menjadi IUPK, dan mengucapkan terima kasih atas kesepakatan tersebut dengan pemerintah.
“PT AMNT telah mengajukan permohonan rekomendasi ekspor No 251/PD RM/AMNT/II/2017 disertai pernyataan komitmen membangun smelter. Atas dasar itu dirjen Minerba telah menerbitkan rekomendasi ekspor pada Jumat (17/2),” katanya.
Sekedar informasi, belum lama ini Kementerian ESDM menerbitkan aturan baru yaitu Peraturan Menteri No 1 tahun 2017 soal mineral logam, meski tetap berpegang teguh pada aturan sebelumnya yaitu UU Minerba No 4/2009.
Melalui aturan tersebut, perusahaan tambang boleh mengubah statusnya dari KK menjadi IUPK jika belum membangun smelter sebagai syarat hilirisasi namun tetap ingin melakukan ekspor konsentrat.
Reporter : Samsul