Eksplorasi.id – Keputusan Kementerian ESDM akan segera melelang Blok East Kalimantan dipertanyakan. Pasalnya, langkah tersebut dinilai sebuah keputusan yang tergesa-gesa. Sebab, kontrak Chevron Indonesia Company di blok itu baru akan habis pada Oktober 2018.
Direktur Eksekutif Center of Energy and Resources Indonesia (CERI) Yusri Usman mengatakan, langkah gegabah melelang Blok East Kalimantan dengan segera akan merugikan Indonesia.
“Ini sebenarnya (lelang Blok East Kalimanyan) untuk kepentingan siapa? Kalau alasannya untuk menjaga ketahanan energi nasional, tentu hal itu bertolak belakang, karena telah mengesampingkan peranan hak Pertamina,” kata dia di Jakarta, belum lama ini.
Sebelumnya, Wakil Menteri ESDM Archandra Tahar pada Jumat (22/9) di Jakarta mengatakan, keputusan melelang Blok East Kalimantan karena menindaklanjuti keputusan Pertamina yang akan mengembalikan blok itu.
Archandra berkomentar, sebenarnya pihaknya belum menerima surat resmi dari Pertamina soal kelanjutan rencana pengelolaan Blok East Kalimantan. Namun, sepengertian dia, Pertamina memang akan mengembalikan blok tersebut.
“Enggak ada waktu kami untuk tidak melelang secepatnya. Saat ini ada beberapa perusahaan yang memang tertarik untuk mengelola kontrak blok tersebut,” jelas dia.
Archandra pun pada Rabu (5/7) pernah mengungkapkan, dari delapan blok terminasi yang diserahkan pengelolaannya hanya Blok East Kalimantan saja yang tidak ekonomis jika menggunakan skema gross split.
“Dari tujuh blok yang dinyatakan ekonomis, ada blok yang meminta tambahan bagi hasil. Minta (penambahan) cuma lima persen yang boleh. Lainnya clear, tidak ada lagi perdebatan. Gross split dibikin supaya tidak ada perdebatan,” ujar dia.
Yusri Usman menilai, sikap Archandra tersebut terkesan tidak berpihak kepada Pertamina. Semestinya, imbuh dia, Kementerian ESDM memberikan waktu tambahan bagi Pertamina untuk mengevaluasi kembali segi keekonomiannya.
“Bukan malah seakan mengancam untuk segera melelang blok itu. Seandainya Achandra peduli terhadap program ketahanan energi nasional sesuai kebijakan presiden, harusnya menugaskan Pertamina mengelola blok itu,” terang dia.
Dia menambahkan, Archandra bisa meminta Pertamina melakukan beberapa simulasi keekonomian yang harus bisa ekonomis, termasuk bila perlu mengurangi bagian negara. “Pertamina kan juga perusahaan milik negara,” ucap dia.
Yusri berpendapat, adanya Peraturan Menteri (Permen) ESDM No 52/2017 tentang Perubahan Atas Permen ESDM No 08/2017 tentang Kontrak Bagi Hasil Gross Split menjadi bukti bahwa skema itu sebenarnya tidak ekonomis.
“Permen itu katanya diterbitkan untuk lebih menarik investor di sektor hulu migas. Maka secara akal sehat seharusnya dengan adanya ketentuan baru itu Achandra selayaknya memberikan kesempatan lagi kepada Pertamina untuk mengkaji ulang keekonomiannya,” katanya.
Reporter : Sam