EKSPLORASI.id – Indonesia dinilai bisa terhindar dari deindustrialisasi sekaligus menuju negara maju jika Pemerintah mampu memasok listrik dalam jumlah besar dan terjangkau.
Anggota Komite Ekonomi dan Industri Nasional (KEIN) RI, Zulnahar Usman mengatakan, deindustrialisasi adalah sebuah fakta yang tak dapat dipungkiri. Namun dapat dihindari jika Pemerintah mampu menjamin ketersediaan listrik untuk menjamin bergeraknya sektor industri.
“Pemerintah Indonesia harus belajar dari proses industrialisasi Korea Selatan yang mampu bangkit menuju negara industri maju karena mengedepankan tiga aspek yaitu listrik, industri dan PDB (Produk Domestik Bruto),” katanya, Selasa (19/12)
Berbeda dengan Indonesia, saat ini kontribusi industri manufaktur terhadap PDB terus merosot dari 29 persen pada 2001 menjadi hanya 20,6 persen pada 2016 dengan kecenderungan yang masih menurun. Faktor inilah yang diduga menjadi salah satu penyebab melemahnya perekonomian nasional yang berdampak pada merosotnya penjualan listrik yang cukup signifikan.
Bila kontribusi industri manufaktur terhadap PDB terus menurun maka Indonesia dalam ancaman perangkap pendapatan menengah atau “middle income trap”.
Untuk keluar dari perangkap tersebut, sektor industri perlu tumbuh paling sedikit 1,5 persen di atas pertumbuhan ekonomi. Masalahnya, dalam dua tahun terakhir, pertumbuhan sektor industri sudah berada di bawah pertumbuhan ekonomi.
Zulnahar Usman membandingkan Indonesia dengan Korea Selatan (Korsel) yang sukses menjalankan industrialisasi. Ketika tahun 1950-an nilai PDB per kapita Korsel berada pada posisi yang hampir sama dengan Indonesia di kisaran 800 dolar AS per kapita.
Pada tahun 1970-an saat Korea melakukan program industrialisasi, nilai PDB negara itu tidak berbeda jauh dengan Indonesia yakni 2.800 dolar AS. Namun 30 tahun kemudian atau sekitar tahun 2000-an ekonomi Korsel berhasil meroket bahkan menembus angka 20.000 dolar AS, sementara Indonesia masih berada di level 3.000 dolar AS.
Korsel bertumpu pada industri yang terstruktur dan masif dengan mengandalkan industri berat dan berteknologi maju, sementara Indonesia justru mengembangkan industri yang bersifat padat karya dengan nilai tambah yang rendah.
“Saat PDB per kapita masih rendah maka listrik menjadi penyumbang utama terhadap PDB melalui industri manufaktur, namun ketika PDB per kapita sudah tumbuh di atas 10.000 dolar AS, maka kontribusi listrik menjadi berkurang karena ekonomi kian bertambah kompleks,” ucapnya.
Untuk itu, ujar Zulnahar, Pemerintah harus memiliki program “quick win” yang fokus pada satu industri yang secara cepat dapat membangkitkan ekonomi seperti industri pertambangan serta produk hilirisasi tambang dan kemudian diteruskan dengan program jangka panjang yang berkelanjutan bersifat padat investasi dan teknologi.
Salah satu sumber daya alam Indonesia yang harus dikembangkan adalah logam tanah jarang, dimana pemisahan logam tanah jarang dari monazite akan menghasilkan thorium yang dapat dijadikan sumber bahan bakar dari pembangkit listrik tenaga thorium yang bersih tanpa emisi, memiliki densitas energi jauh lebih besar dibandingkan fosil dan dengan biaya murah.
“Thorium tidak dapat disangkal akan menjadi energi masa depan dan logam tanah jarang akan menjadi komoditas yang lebih strategis dari minyak, keduanya dapat dijadikan prioritas industri nasional menuju industri nasional berbasis inovasi dan teknologi,” ujarnya.
(SAM)