Eksplorasi.id – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) diminta untuk segera mengambilalih kasus korupsi investasi yang dilakukan PT Pertamina (Persero) di di Blok Basker Manta Gummy (BMG), Australia, pada 2009 dari Kejaksaan Agung (Kejagung).
Hal itu ditegaskan Direktur Eksekutif Center of Energy and Resources Indonesia (CERI) Yusri Usman dalam keterangan tertulis di Jakarta, Jumat (2/2). “Penetapan BK sebagai tersangka oleh Kejagung sungguh aneh,” kata dia.
Menurut Yusri, tindakan Kejagung tersebut sangat aneh dan menggangu akal sehat orang yang paham hukum. Penyidik Kejagung, imbuh dia, terkesan ingin menyelamatkan kesalahan rombongan direksi Pertamina saat itu.
“Semestinya mereka (direksi) yang harus dijerat sebagai tersangka jika pihak penyidik sudah menemukan dua alat bukti yang meyakinkan, yaitu adanya unsur perbuatan melawan hukum dan unsur kerugian negara,” jelas dia.
Seperti diketahui, Kejagung telah menetapkan tersangka dalam kasus dugaan korupsi investasi
Pertamina di BMG. Tersangka berinisial BK merupakan mantan Manajer MNA Direktorat Hulu PT Pertamina.
“Tersangka inisial BK, pekerjaan mantan Manajer MNA Direktorat Hulu PT Pertamina (Persero),” kata Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung M Rum dalam keterangannya, Selasa (30/1).
BK ditetapkan sebagai tersangka berdasarkan surat perintah penetapan tersangka Direktur Penyidikan pada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Nomor: TAP-06/F.2/Fd.1/01/2018.
BK dikenai Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. Saat ini BK belum ditahan penyidik.
Kasus itu bermula saat Pertamina pada 2009, melalui anak perusahaannya, PT Pertamina Hulu Energi (PHE), melakukan akuisisi saham sebesar 10 persen terhadap ROC Oil Ltd.
Perjanjian jual beli ditandatangani pada 1 Mei 2009, dengan modal sebesar 66,2 juta dollar Australia atau senilai Rp 568 miliar dengan asumsi mendapatkan 812 barel per hari.
Namun, ternyata Blok BMG pada 2009 hanya dapat menghasilkan minyak mentah untuk PHE Australia Pty Ltd rata-rata sebesar 252 barel per hari.
Pada 5 November 2010, Blok BMG dinyatakan ditutup setelah ROC Oil Ltd, Beach Petrolium, Sojits, dan Cieco Energy memutuskan penghentian produksi minyak mentah (non production phase/npp) dengan alasan lapangan tidak ekonomis.
Ironisnya, lanjut Yusri, berdasarkan penjelasan pihak Kejagung yang diwakili M Rum, dikatakan BK telah ditetapkan sebagai tersangka disebabkan dalam mengambil keputusan tidak mengacu pada pedoman investasi.
BK juga disangkakan tidak melakukan tahap due diligence atau tidak melakukan kajian lengkap dan diduga pengambilan keputusan itu juga tanpa persetujuan Dewan Komisaris dan akibatnya Pertamina rugi sekitar Rp 568 miliar.
“Sehingga kalau semua keterangan di atas itu benar resmi dikeluarkan oleh pejabat resmi Kejagung, tentu patut disesalkan dan sudah bisa dibaca oleh publik bahwa telah terjadi pembohongan publik oleh pejabat tersebut, apalagi dikatakan sudah sekitar 49 saksi diperiksa,” terang Yusri.
Dia berpendapat, seharusnya penyidik sudah mendapat bentuk bagan organisasi Pertamina dan tata kelolanya terkait proses bisnis yang sudah baku dijalankan di Pertamina, terutama terkait aksi akuisisi dan divestasi suatu blok migas di dalam maupun di luar negeri.
“Artinya tanpa persetujuan BOD (Board of Director) dan BOC (Board of Commissioner) tidak mungkin sepeserpun uang bisa berpindah dari kantong Pertamina ke pihak lain. Apalagi hampir USD 61 juta sudah digelontorkan sejak Mei 2009 sampai dengan divestasi nol dolar pada 2013,” katanya.
Kalaupun hal tersebut terjadi, jelas Yusri, maka yang harus ditangkap terlebih dahulu adalah direktur keuangan yang kala itu dijabat oleh Ferederick ST Siahaan, bukan manager merger dan akuisisi.
“Pasalnya, dia (manager merger dan akuisisi) memang tidak punya wewenang memutuskan investasi, apalagi wewenang mengeluarkan uang sepersepun tanpa persetujuan dewan direksi,” tegas dia.
Gelar Perkara Terbuka
Yusri berkomentar, demi menjaga citra positif korps Commissioner di mata publik, sebaiknya Jaksa Agung memerintahkan gelar perkara terbuka proses penyidikannya berdasarkan alat bukti surat yang lengkap dan keterangan saksi saksi yang jujur, bukan yang penuh kebohongan dan rekayasa.
“Termasuk penyidik harus mendalami peran penting Direktur Keuangan Pertamina Ferederick ST Siahaan dan Budhi Himawan yang pernah menjabat sebagai VP Pendanaan dan Portofolio AP (2007-2010) serta VP Subsidiary/JV Management (2010). Budhi yang awalnya berinisiatif menawarkan akuisi Blok BMG ke direktur Hulu yang dijabat Karen Agustiawan,” katanya.
Yusri menambahkan, usulan akuisisi langsung ke direktur hulu tersebut tanpa melalui SVP Treasury and Financing yang saat itu dijabat oleh Evita M Tagor.
“Diduga ada misi khusus untuk tidak melibatkan Evita Tagor. Padahal seharusnya usulan dari direktur Keuangan harus ke Evita Tagor terlebih dahulu sebagai SVP baru kemudian turun ke Budhi Himawan yang hanya VP,” ujarnya.
Penjelasan Yusri, penyidik harus juga menelusuri peran penting yang dilakukan oleh konsultan Pertamina bernama Gary Hink warga negara Australia yang sekarang bekerja di perusahaan minyak Malaysia.
“Keterangan dari pejabat terkait diharapkan akan membuka tabir baru sesungguhnya siapa yang harus bertanggung jawab secara hukum atas kerugian Pertamina saat itu,” jelasnya.
Persetujuan BOC dan BOD
Yusri Usman mengatakan, sejumlah informasi penting terkait proposal akuisisi telah disetujui oleh BOC dan BOD melalui serangkaian proses, seperti Tim Pengembangan Pengelolaan Portofolio Usaha Hulu (TP3UH), Komite Investasi, Rencana Pengembangan Investasi (Renbangis), termasuk persetujuan penetapan harga akuisisi oleh Dirut Pertamina Karen Agustiawan sebesar USD 35 juta untuk nilai 15 persen saham Blok BMG.
Kemudian, lanjut dia, berdasarkan negosiasi lanjutan hasilnya direvisi di mana 10 persen saham sebesar USD 31 juta.
“Ternyata persetujuan harga tersebut diparaf juga oleh R Gunung Sardjono Hadi yang saat itu sebagai SVP UBD (Upstream Business Development), Wawan Widyawan yang menjabat SPV Renbangis/PIMR, Bayu Kartika (Manager Merger dan Investasi), dan Genades Panjaitan (Chief Legal Counsel & Compliance Pertamina),” ucap Yusri.
Dikelola PHE
Pascaakusisi, Blok BMG selanjutnya dikelola oleh PT Pertamina Hulu Energi (PHE) yang saat itu dirutnya dijabat oleh Ignatius Tenny Wibowo. Kala dikelola PHE, tingkat produksinya mencapai 9.000 bbl per hari untuk Blok Basker yang ada di Blok BMG.
“Selama 3,5 tahun diperkirakan PHE memeroleh 1,4 juta bbl, yang diperoleh dari perhitungan PHE 10 persen dikalikan 9.000 bbl per hari,” kata Yusri.
Pada 2012, ungkap Yusri, ROC Oil melaporkan ada tiga masalah, yakni persoalan lingkungan, FSPO rusak, dan cadangan yang menurun.
Blok BMG terdiri atas tiga blok, yakni Basker, Manta, dan Gummy. Berbekal alasan adanya masalah di Blok BMG, maka operasi di ketiga Blok BMG dihentikan.
“Padahal potensi cadangan migas di dua blok lainnya, Manta dan Gummy, masih memiliki prospek. Penghentian operasi diikuti divestasi (pelepasan saham) sebesar 15 persen dengan nilai nol pada 2013,” jelas Yusri.
Setelah Pertamina melepas saham tersebut, ternyata Blok Manta pada 2014 dipastikan memiliki cadangan gas dan kondensat dengan perkiraan tingkat produksi 23 PJ/year. Blok Manta tersebut dioperasikan oleh Cooper Energy, salah satu mitra Pertamina EP di salah satu blok migas dalam negeri.
“Kesalahan Pertamina adalah melepas saham/divestasi dengan nilai nol di Blok BMG. Padahal yang bermasalah hanya di Blok Basker sedangkan di Blok Manta terbukti ada cadangan gas yang diperkirakan akan start up produksi pada Mei 2021,” ucap Yusri.
Kabar terakhir, ungkap Yusri, Cooper akan menjual gas bersama Santos ke pasar domestik Australia. “Perlu diketahui, Tenny Wibowo yang mantan dirut PHE sekarang duduk sebagai presiden dan GM Santos Indonesia,” ujarnya.
Reporter: HYN