Eksplorasi.id – Momentum berakhirnya kontrak karya (KK) PT Freeport Indonesia (PTFI) pada 2021 harus dimanfaatkan oleh oleh rakyat Indonesia, dalam hal ini pemerintah dan DPR dengan membuat regulasi yang menguntungkan dan berpihak pada kepentingan rakyat.
“Pemerintah harus memiliki sikap yang tegas terkait banyaknya ketidak patuhan PTFI terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Contoh paling jelas adalah ketidak patuhan PTFI terhadap UU No 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba), terutama dalam pembangunan semelter,” kata dosen FH Universitas Tarumanegara Ahmad Redi, ketika menjadi pembicara diskusi publik ‘Pukul Mundur Freeport (Edisi ke-2)’ bertema Strategi Hukum dan Politik dalam Rangka Nasionalisasi Freeport untuk Kesejahteraan Rakyat.
Acara diskusi itu berlangsung di UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta pada Jumat (18/3). Ahmad menjelaskan, ketidak patuhan paling mencolok PTFI adalah tidak dilaksanakannya pasal 170 UU Minerba. Bahkan, lanjut dia, dalam KKK disebutkan kewajiban membangun smelter apabila memenuhi syarat keekonomian di dalam negeri.
“Namun pada kenyataanya, UU Minerba yang disahkan pada 2009 dengan memberi tenggang waktu lima tahun sejak 2014, di mana PTFI harus melakukan proses pemurnian di dalam negeri, faktanya jangankan melakukan pemurnian di dalam negeri, smelter saja belum dibangun sampai saat ini,” tegas dia.
Menurut Ahmad, secara prosedural, perpanjangan KK menjadi Izin Usaha Pertambangan (IUP), sebagaimana dalam Pasal 112 ayat (2) PP No 23/2010, diatur bahwa KK yang belum memeroleh perpanjangan pertama dan/atau kedua dapat diperpanjang menjadi IUP perpanjangan, tanpa melalui lelang dan kegiatan usahanya dilaksanakan sesuai dengan ketentuan PP No 23/2010 mengenai penerimaan negara yang lebih menguntungkan.
Dia menambahkan, perpanjangan KK menjadi IUP diberikan oleh menteri ESDM (Pasal 112B PP No 24/2012). Untuk memperoleh IUP, pemegang KK harus mengajukan permohonan kepada menteri ESDM paling cepat dalam jangka waktu dua tahun dan paling lambat dalam jangka waktu enam bulan sebelum KK berakhir (Pasal 112B ayat (2) PP No. 24 Tahun 2012).
“Berdasarkan ketentuan tersebut, pemerintah memiliki kewenangan yang kuat untuk tidak memperpanjang KK PTFI dengan IUP. Selanjutnya pada 2018/2019, PTFI sudah dapat mengajukan permohonan perpanjangan KK menjadi IUP. Momentum permohonan perpanjangan inilah yang harus dipertegas oleh pemerintah untuk tidak memperpanjang dan mengakhiri KK PTFI,” ungkap Ahmad.
Senada dengan Ahmad, advokat publik Sugiarto berkomentar, pemerintah harus konsisten dalam menerapkan prinsip hukum ketatanegaraan, kaitannya dengan sentralisasi dan desentralisasi. Pada saat ini, Indonesia telah bersepakat dengan desentralisasi, yaitu memberikan kekuasaan lebih besar kepada daerah dalam langkah-langkah pembangunan, termasuk pertambangan.
“Salah satu bentuk komitmen desentralisasi adalah tidak ada logika KK dalam pertambangan, yang ada adalah permohonan izin kepada daerah. Keberadaan KK PTFI merupakan bentuk ketidak konsistenan pemerintah dalam prinsip desentralisasi kekuasaan karena secara langsung mereduksi wewenang daerah,” kata Sugiarto.
Dia menyarankan, perjuangan nasionalisasi aset, khususnya PTFI, dapat dijalankan dengan dua jalur yang biasa ditempuh dalam dunia advokasi, yaitu litigasi dan non litigasi. Jalur litigasi dapat ditempuh dengan mengajukan gugatan kepada pengadilan terkait pelanggaran hukum yang dilakukan oleh pemerintah, bisa atas menteri terkait bahkan atas presiden sekalipun (dengan logika menteri adalah pembantu Presiden, apa yang dilakukan menteri bisa dianggap sebagai ‘kelakukan’ presiden).
“Jalur non litigasi dapat ditempuh dengan melakukan konsolidasi dengan elemen-elemen masyarakat lain yang sevisi dengan gerakan nasionalisasi aset (PTFI). Hal ini dapat dilakukan dengan melakukan pendidikan organisasi terhadap masyarakat agar mengerti betapa pentingnya menguasai aset-aset ekonomi strategis seperti PTFI,” jelas dia.
Sebelumnya, Abdullah dari tim pelaksana diskusi publik, dalam sambutannya mengatakan, diskusi edisi kedua ini merupakan komitmen bagi tim Pukul Mundur Freeport untuk melakukan gerakan jangka panjang dalam rangka nasionalisasi PTFI.
“Pada edisi kedua ini, tim memusatkan pada aspek hukum, khususnya UU Minerba. Memberikan penegasan kepada pemerintah terkait dengan perubahan KK ke IUP dan pembangunan smelter serta pemurnian konsentrat 100 persen hasil tambang di dalam negeri yang sampai saat ini belum dilaksanakan,” katanya.
Abdullah mengatakan, Tim Pukul Mundur Freeport mendukung pembangunan smelter di Papua, bukan di Gresik, Jawa Timur. Hal ini terkait erat dengan kemajuan dan pembangunan Papua serta sebagai bentuk ‘bayaran’ atas dikeruknya emas Papua selama puluhan tahun.
“Jangan sampai terjadi mau manisnya tak mau pahitnya, mau emasnya tak mau pembangunannya. Kemudian, Tim Pukul Mundur Freeport (dengan merujuk hasil diskusi edisi pertama) mendorong didirikannya perguruan tinggi negeri khusus pertambangan di Papua. Hal ini dilakukan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia di Papua dalam rangka persiapan setelah PTFI dinasionalisasi pada 2021.
Eksplorasi | Ponco
This website was… how do you say it? Relevant!! Finally I have
found something which helped me. Thank you!