Eksplorasi.id – Pemerintah Indonesia melalui Kementerian ESDM diketahui mengubah skema rezim kontrak bagi hasil production sharing contract (PSC) yang di dalamnya ada cost recovery dengan rezim gross split di dalam kontrak migas.
Wakil Menteri ESDM Archandra Tahar pernah berkomentar, skema bagi hasil gross split bisa mendorong kegiatan eksplorasi atau pencarian lapangan migas baru.
Skema gross split adalah skema di mana perhitungan bagi hasil pengelolaan wilayah kerja migas antara pemerintah dan kontraktor diperhitungkan di muka. Dengan skema ini, biaya operasi ditanggung kontraktor.
Sangat berbeda dengan skema PSC, di mana biaya operasi ditanggung pemerintah jika kontraktor migas bisa menghasilkan produksi migas secara keekonomian.
Di sisi lain, saat ini sejumlah pihak sedang dalam masa euforia terkait pengembangan Blok Masela. Namun, banyak publik belum mengetahui bahwa Blok Masela masih menggunakan rezim kontrak PSC.
Direktur Eksekutif Eksplorasi Institute Heriyono Nayottama mengatakan, terkait dengan pengembangan Blok Masela yang ‘dibanggakan’ banyak pihak tersebut, rezim kontrak yang digunakan dalam pengembangan blok tersebut merupakan satu-satunya yang lolos dari ‘pemaksaan’ gross split.
“Blok Masela setahu saya tetap menggunakan rezim PSC yang di dalamnya ada cost recovery. Selain itu, rencana pengembangan (plan of development/PoD)-nya juga tidak semua ada di fasilitas di darat (onshore),” kata dia di Jakarta, Kamis (18/7).
Heriyono mengungkap, berdasarkan informasi yang diperoleh, kontrak PSC Blok Masela sebelumnya telah berakhir pada akhir Juni lalu. Namun, Inpex Corporation dan Shell Indonesia sebagai operator memeroleh perpanjangan kontrak PSC selama 27 tahun. Perpanjangan kontrak tersebut terdiri atas tujuh tahun amandemen kontrak eksisting dan perpanjangan kontrak selama 20 tahun.
Data SKK Migas menunjukkan, proyek Blok Masela akan menelan investasi sekira USD 18 miliar hingga USD 20 miliar. Nantinya Blok Masela akan memproduksi 9,5 juta ton LNG per tahun dan gas pipa sebesar 150 mmscfd pada 2027.
Heriyono menambahkan, PoD di Blok Masela juga masih ada yang di lepas pantai (offshore), terutama untuk filtering dan cleaning gas dari berbagai zat yang tidak diperlukan sebelum dialirkan ke darat.
Heriyono mengungkapkan, sekiranya memang benar Blok Masela akan menghasilkan gas dalam jumlah besar, maka akan ada persoalan berikutnya yang timbul.
Pertama, kalau hasilnya hanya jadi gas alam cair (liquefied natural gas/ LNG), apakah penyediaan terminal apung atau Floating Storage Regasification Unit (FSRU) dalam rabgka pengembangan LNG menggantikan BBM atau elpiji dalam sejalan/paralel agar tidak terjadi kargo yang tidak terserap seperti di Bontang, Corpus Christi, dan Woodside yang sudah terlanjur dibeli?
Kedua, apakah tidak dipikirkan untuk pengembangan industri petrokimia di wilayah timur sana? “Kalau iya, tentunya di lokasi yang secara ekonomis terjangkau oleh pipa gas Blok Masela,” jelas Heriyono.
Persoalan ketiga, lanjut Heriyono, secara ekonomis juga harus dilihat lagi apakah biaya produksi gas Blok Masela cukup kompetitif dibandingkan dengan harga di pasar dunia. Sebab, saat ini pun untuk penambahan train di Tangguh masih terganjal pada aspek keekonomian tersebut.
Reporter: Sam