Eksplorasi.id – BUMN migas kebanggaan republik, PT Pertamina (Persero), terus dirundung masalah. Setidaknya saat ini ada empat masalah besar yang tengah dihadapi perusahaan migas pelat merah tersebut.
Direktur Eksekutif Eksplorasi Institute Heriyono Nayottama mengatakan, masalah pertama yang dihadapi Pertamina adalah persoalan pengelolaan Blok Corridor.
“Mayoritas publik dan Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB) ingin bahwa 100 persen pengelolaan Blok Corridor diberikan kepada Pertamina sesuai peraturan perundangan yang berlaku begitu blok selesai masa kontraknya pada 2023,” kata dia di Jakarta, Selasa (30/7).
Namun ironisnya, imbuh dia, manajemen Pertamina yang saat ini di bawah komando Nicke Widyawati setuju bahwa dalam kurun 2023-2026 Blok Corridor masih dikelola oleh ConocoPhilips dan Pertamina akan mengelola blok tersebut mulai 2026 dengan hak partisipasi (participating interest/ PI) hanya 30 persen.
Kemudian, lanjut Heriyono, persoalan kedua adalah soal rencana pengalihan bisnis gas alam cair (liquefied natural gas/ LNG) dari Pertamina sebagai induk usaha (holding) kepada PT PGN Tbk sebagai anak perusahaan yang juga ditolak oleh FSPPB.
“Pengalihan tersebut belum dibahas soal mekanismenya dan alasan-alasan apa yang menjadikan itu merugikan Pertamina, sehingga belum banyak pemerhati energi yang memberikan pandangannya,” ujar dia.
Persoalan ketiga, imbuh dia, pembentukan holding BUMN bidang lain yang menyertakan anak perusahaan Pertamina sebagai anggota holding.
Misalnya, PT Pelita Air Service di holding sarana dan prasarana perhubungan udara, PT Patra Jasa di holding Hotel Indonsesia, serta PT Perta Medika di holding Healthcare Indonesia, dan sebagainya.
“Mekanisme pengalihan aset Pertamina menjadi aset holding belum pernah dibahas, sehingga publik pun belum bisa memberikan pendapatnya,” jelas dia.
Terakhir, atau masalah keempat, adanya dugaan adanya skenario devil advocat yang akan mengubah piutang Pertamina kepada pemerintah menjadi utang dengan adanya tuntutan pencemaran lingkungan sebesar Rp 10,5 triliun oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan akibat kebocoran pipa di Balikpapan, dan kemungkinan akan adanya tuntutan yang lebih besar lagi akibat kebocoran sumur di Sumur YYA-1 area Pertamina Hulu Energi Offshore North West Java (PHE ONWJ).
Reporter: Sam.