Anak usaha PT. PLN (Persero), PLN Energi Primer Indonesia (PLN EPI) berencana mengembangkan sejumlah inisiatif energi bersih dalam memenuhi kebutuhan sektor ketenagalistrikan sebagai komitmen mereduksi emisi Gas Rumah Kaca (GRK).
Kata Direktur Utama PLN EPI Iwan Agung Firstantara, pihaknya mendukung holding PLN dalam menegaskan komitmen untuk menjalankan transisi energi demi mencapai Net Zero Emission (NZE) pada 2060.
“Beragam inisiatif PLN akan berdampak pada pengurangan 3,7 miliar ton CO2e,” ujarnya di Jakarta, Selasa (7/8).
Menurutnya, bahwa selama 4 tahun terakhir PLN telah menghapus rencana pembangunan 13,3 gigawatt (GW) pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) yang sebelumnya masuk ke dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL).
PLN mengganti PLTU batu bara sebesar 800 MW dengan pembangkit gas hingga membatalkan perjanjian pembelian tenaga listrik (Power Purchase Agreement/PPA) PLTU batu bara sebesar 1,3 GW.
“Komitmen mengakselerasi transisi energi juga dilakukan PLN dengan turut menginisiasi program Accelerated Renewable Energy Development (ARED,” ucap Iwan.
Tambah Iwan, melalui ARED, PLN membangun pemerataan kelistrikan nasional melalui Green Enabling Super Grid. Hal ini menjadikan sistem kelistrikan Indonesia yang sebelumnya terpisah antarpulau menjadi terhubung satu sama lain dan potensi EBT berskala besar yang belum dimanfaatkan selama ini dapat dimaksimalkan.
“Pasokan listrik berbasis EBT akan meningkat dari 22 GW menjadi 61 GW,” jelasnya.
Iwan bilang, untuk mengatasi tantangan intermitensi dari sumber EBT, PLN juga membangun smart grid dengan smart power plant dan flexible generation yang dilengkapi smart transmission, smart distribution, smart control center dan smart meter.
“Melalui ARED ini membuat penambahan kapasitas listrik 75 persen bersumber dari EBT, sementara 25 persen berasal dari gas alam. PLN akan bergantung dengan LNG untuk mengkompensasi penurunan produksi atau pasokan dari gas pipa untuk memenuhi kebutuhan listrik nasional,” ujar Iwan.
“Pemanfaatan gas melalui LNG akan meningkat seiring waktu dari porsi saat ini di kisaran 55 persen menjadi 69 persen pada 2040 mendatang,” tungkas Iwan.
Diketahui, sampai dengan saat ini, PLN telah membangun ekosistem green hydrogen secara end to end. PLN telah memiliki 22 Green Hydrogen Plant (GHP) dengan memanfaatkan pembangkit listrik tenaga panas bumi, pembangkit listrik tenaga surya, dan renewable energy certificate.
Dari total 22 GHP tersebut, PLN mampu memproduksi 203 ton/tahun green hydrogen. Dimana 75 ton hidrogen ini digunakan untuk kebutuhan operasional pembangkit. Sementara, 128 ton bisa digunakan untuk mendukung kebutuhan lain, termasuk kendaraan hidrogen.
PLN juga telah memiliki Hydrogen Refueling Station (HRS) atau stasiun pengisian kendaraan hidrogen yang berlokasi di kawasan Senayan, Jakarta. HRS yang diresmikan pada Februari 2024 lalu menjadi HRS pertama di Indonesia.
Dalam mengembangkan ekosistem green hydrogen, PLN kini tengah memulai pilot project untuk mengkonversi excess produksi green hydorgen menjadi green ammonia untuk program cofiring PLTU milik PLN.