Eksplorasi.id – Judul tulisan ini tentu akan menjadi pertanyaan setiap orang yang berakal sehat, apakah wajar yaitu berencana menekan kerugian tapi mensponsori pembalap, apakah akan berdampak positif atau negatif?
Tetapi sebelum mengulas sesat pikir logika judulnya tentu kita perlu tahu latar belakang adanya Pertamina. Mempertanyakan Pertamina tentu tidak berbeda dengan pertanyaan kita atas kehadiran Badan Usaha Milik Negara (BUMN) lainnya, untuk apa dan manfaatnya bagi siapa BUMN itu?
Lebih jauh yang harus dijawab adalah pertanyaan yang biasanya datang dari para ekonom penganut sistem ekonomi kapitalisme-libaralisme yang biasanya menanyakan kepentingan negara mengurusi bisnis.
Mudah-mudahan kita semua jangan sampai lupa, bahwa hadirnya BUMN di Republik Indonesia tidak terlepas dari perjalanan panjang penjajahan negara lain atas bumi pertiwi tercinta yang didukung oleh sebuah perusahan besar (korporasi) Verenigde Oost Indische Compagnie (VOC) atau kongsi dagang Belanda yang berawal dari misi dagang.
Inilah yang membuat perbedaan kehadiran BUMN di negara kita secara kesejarahan dengan negara-negara lain, terutama yang menganut sistem liberalisme kapitalistik. Tentu saja alasan budaya usaha bersama atau gotong royong menjadi hal yang utama kita menolak sistem ekonomi lain.
Kedua latar belakang yang sangat kuat inilah kemudian UUD 1945 disusun oleh para pendiri bangsa (founding father) sekaligus menunjukkan bahwa Negara Kesatuan Republik Indinesia memiliki sistem ekonomi dan kelembagaannya sendiri, yaitu yang tertuang dalam pasal 33 UUD 1945 asli.
Penguasaan negara dalam pengelolaan bumi, air dan kekayaan yang terkandung didalamnya ini ditujukan supaya tampuk kekayaan tidak jatuh pada tampuk sekelompok orang sehingga mengabaikan kesejahteraan dan kemakmuran semua orang.
Oleh karena itu kebijakan privatisasi beberapa BUMN yang menguasai hajat hidup orang banyak jelas pelanggaran berat atas perintah konstitusi. Pemerintahan Presiden Joko Widodo yang mengusung janji kampanye Trisakti dan Nawacita telah dipilih oleh rakyat dengan harapan betul-betul melakukan revolusi atas semua pelanggaran konstitusi itu.
Sebab, khusus untuk BUMN, lebih dari.32 tahun pengelolaannya tidak pernah transparan dan dipertanggungjawabkan (accountable), termasuk Pertamina. Sebagai entitas bisnis, tentu saja Pertamina harus beroperasi sesuai dengan prinsip-prinsip manajemen yang efektif dan efisien,serta jajaran pimpinannya yang profesional.
Dalam kasus Pertamina mensponsori pembalap Rio Heryanto sebagai contoh, apakah pengelolaan Pertamina dapat dikatakan efektif dan efisien ditengah kebijakan Direksi Pertamina menekan kerugian usahanya?
Apakah logis untuk menekan kerugian (losses) Pertamina lalu mengeluarkan biaya promosi 15 juta euro (sekitar Rp 225 miliar lebih) yang membuat bertambahnya kerugian atas pembiayaan kegiatan yang tidak ada manfaatnya bagi Pertamina?
Jika memang benar pernyataan direksi Pertamina dalam Rapat Dengar Pendapat dengan DPR pada Maret dan April 2016 serta di forum IPA pada 27 Mei 2016 di Jakarta Convention Centre soal keberhasilan menurunkan tingkat kerugian arus minyak dari 0,5 persen menjadi 0,35 persen dan akan mencapai 0,2 persen serta bisa menghemat sampai dengan USD 252,2 juta pada 2015 dan 2016 sudah mencapai USD 100 juta serta diperkirakan bisa mencapai USD 200 juta pada akhir 2016, lalu pertanyaannya adalah dalam bidang apa saja Pertamina melakukan penghematan atau efisiensi?
Terkait dengan persentase efisiensi yang dikemukakan direksi Pertamina, padahal pada 2013 saja Pertamina pun telah berhasil melakukan efisiensi sebesar 0,35 persen, jadi angka itu bukanlah sebuah pencapaian kinerja.
Dengan harga minyak dunia yang saat ini turun drastis apakah mungkin Pertamina bisa mencapai angka efisiensi sampai 0,2 persen? Seharusnya Pertamina dapat berpikir lebih rasional dalam skala prioritas soal efisiensi itu mulai dari kegiatan hulu dalam produksi dan hilir pemasaran.
Apalagi di bidang pemasaran, pembangunan citra (image building) bagi Pertamina lewat sponsor balapan F1 ini tidaklah terlalu penting karena nama Pertamina sudah terkenal?
Lagipula olah raga balapan ini adalah olah raga prestasi individu yang manfaatnya tidak sebanding dengan olah raga yang dimainkan secara kolektif, hanya bisa dirasakan oleh yang bersangkutan, tidak membeti manfaat langsung pada orang banyak, kecuali penggemarnya kalaupun ada.
Maka dalam konteks inilah mensponsori pembalap tidak saja membuat potensi kerugian Pertamina semakin besar disaat harga minyak dunia turun,tapi juga menggerus pendapatan Pertamina dan merusak hakikat pengelolaan BUMN.
Sebaiknya Pertamina lebih banyak memberi dukungan pada kegiatan-kegiatan yang lebih mendukung tema Revolusi Mental Presiden yang lebih menginspurasi anak muda untuk teribat, apalagi kegiatan itu membuka peluang memberikan kesejahteraan rakyat Indonesia, selain program CSR yang sudah berjalan.
Untuk inilah otoritas penguasaan hajat hidup orang banyak oleh BUMN didayagunakan dan kerugian Pertamina ditekan, mensponsori balapan selain tidak ada manfaat bagi anak muda, biayanya mahal dan tentu saja Pertamina semakin rugi dan dirugikan.
Semoga akal sehat dan nurani kita masih ada di dalam hal dana sponsor untuk balapan dan menekan kerugian perusahaan, jangan sampai akhirnya semua ketidak efisienan itu dibebankan pada rakyat sebagai konsumen BBM.
Oleh Defiyan Cori*
*Ekonom dan Ketua Forum Ekonomi Konstitusi