Eksplorasi.id – Dalam rapat terbatas beberapa waktu lalu, Presiden Joko Widodo memerintahkan kepada menteri terkait untuk membentuk holding BUMN di berbagai bidang, di antaranya perbankan, infrastruktur, jalan tol, perumahan, jasa rekonstruksi dan rekayasa, serta pertambangan dan energi.
Untuk melaksanakan perintah tersebut, menteri BUMN Rini Soemarno bergerak cepat untuk pembentukan holding BUMN, yang akan dimulai dengan membentuk holding BUMN di bidang energi. Rini Soemarno bahkan telah menetapkan target pembentukan holding BUMN energi akan direaliasasikan pada Juni 2016 mendatang.
Kementerian BUMN akan membentuk holding BUMN energi dengan menjadikan Pertamina sebagai holding, sedangkan PT Perusahaan Gas Negara (PGN) Tbk akan dijadikan sebagai menjadi anak perusahaannya. Mestinya, pembentukan holding BUMN energi tidak disimplikasikan pada Pertamina mengakuisisi PT PGN, melainkan mensinergikan seluruh BUMN Energi sejenis di bawah satu holding BUMN.
Merger PGN dan Pertgas
Di tengah kencenderungan menurunannya harga minyak dan gas (migas) dan persaingan industri migas yang semakin ketat, memang ada urgensi untuk membetuk holding BUMN energi di Indonesia.
Pembentukan holding energi tersebut diyakini dapat mendorong bisnis BUMN energi menjadi lebih kuat. Pasalnya, pembentukan holding BUMN energi merupakan bentuk sinergi antar BUMN energi yang berdampak pada penguatan aset dan efisiensi kinerja.
Namun, kalau tujuan pembentukan holding BUMN energi tersebut hanya untuk menjadikan Pertamina sebagai perusahaan holding dengan mengakuisisi PGN sebagai anak perusahaannya, barangkali upaya itu justru menjadi blunder bagi Pertamina dan PGN.
Akuisisi Pertamina terhadap PGN sesungguhnya berpotensi merugikan tidak hanya bagi PGN, tetapi juga akan menimbulkan persoalan bagi Pertamina. Bukan perkara mudah bagi Pertamina untuk mengakusisi PGN, yang 45 persen sahamnya sudah dimiliki oleh publik. Pertamina harus menyediakan dana segar dalam jumlah besar untuk membeli saham PGN.
Saat ini kapitalisasi saham PGN di pasar modal diperkirakan sudah mencapai sekitar Rp 115 triliun, sehingga Pertamina harus menyediakan dana minimal Rp. 70 triliun untuk membeli sekitar 56,97 persen dari total saham PGN.
Kalau pun Pertamina mampu menyediakan sejumlah dana yang dibutuhkan untuk mencaplok PGN, dana sebesar itu akan lebih produktif jika digunakan untuk membiayai rencana pembangunan kilang minyak, sehingga dapat mengurangi impor BBM yang semakin membengkak.
Barangkali sinergi yang paling realistis adalah mengupayakan merger antara PGN dengan Pertagas, anak perusahaan Pertamina yang bergerak di sektor hilir gas. Merger keduannya bisa diawali secara parsial pada tataran pembangunan, pengembangan dan pengoperasian jaringan pipa gas.
Kalau merger parsial tersebut berhasil mematangkan pembangunan jaringan pipa gas, pada saat itulah perlu dikembangkan merger secara total antara PGN dan Pertagas. Untuk mencapai pendalaman usaha, perusahaan hasil merger tersebut harus tetap fokus pada usaha gas bumi di sektor hilir, sedangkan Pertamina tetap menjalankan usaha gas di sektor hulu dan usaha minyak di sektor hulu dan hilir.
Holding BUMN Energi
Untuk mencapai pendalaman usaha BUMN energi, upaya sinergi melalui merger juga harus dilakukan terhadap BUMN bidang energi sejenis lainnya. Usaha BUMN itu meliputi migas, energi terbarukan, minerba dan listrik.
Setelah merger antara BUMN energi sejenis sudah terbentuk dan sudah mampu melakukan pematangan pembangunan infrastruktur energi, pada saat itulah perlu dibentuk perusahaan baru sebagai holding BUMN energi.
Bukan menjadikan Pertamina sebagai perusahaan holding, tapi menempatkan Pertamina sebagai salah satu anak perusahaan dari Perusahaan holding energi yang baru dibentuk itu.
Kalau menteri BUMN tetap memaksakan Pertamina sebagai holding BUMN energi sekaligus sebagai salah satu pemain usaha di sektor migas, dikhawatirkan justru semakin memberatkan bagi Pertamina, sehingga Pertamina tidak dapat berperan sebagai holding energi dan pelaku usaha migas secara optimal.
Tahapan pembentukan perusahaan baru sebagai holding BUMN energi juga dilakukan di Bulgaria. Sebelum membentuk Bulgaria Energy Holding, pemerintah Bulgaria mengawali dengan melakukan penguatan dan pendalaman usaha di setiap sektor BUMN energi, serta pematangan infrastruktur energi.
Setelah terjadi penguatan dan pendalaman usaha serta pemtangan infrastruktur energi, Pemerintah Bulgaria baru memutuskan untuk membentuk perusahaan baru sebagai holding energi yang membawahi beberapa BUMN energi.
BUMN itu terdiri atas perusahaan gas Bulgargaz, jaringan listrik OperatorNEK, pembangkit listrik tenaga nuklir Kozloduy, pembangkit listrik termal Maritza Iztok II, dan mini tambang Maritza Iztok . Kini, Bulgaria Energy Holding merupakan produsen dan eksportir listrik terbesar di wilayah Balkan dan Eropa Selatan, serta mampu berperan sebagai penyeimbang penyediaan energi di wilayah tersebut.
Tahapan bisnis proses yang dilakukan di Bulgaria dalam pembentukan hoding energi barangkali dapat menjadi pembelajaran bagi Indonesia untuk melakukan penguatan dan pendalaman usaha BUMN energi, serta pematangan infrastruktur energi sebelum pembentukan perusahaan holding BUMN energi.
Tanpa upaya penguatan dan pendalaman usaha BUMN energi, serta pematangan infrastruktur energi, jangan harap pembentukan holding BUMN energi akan memberikan nilai tambah yang optimal bagi negeri ini.
Apalagi, kalau keputusan pembentukan holding energi dimaksudkan hanya semata-mata menjadikan Pertamina sebagai holding dengan mengakusisi PGN. Tidak diragukan lagi keputusan Pertamina mengakuisis PGN itu justru akan menjadi blunder, baik bagi Pertamina maupun bagi PGN.
Oleh Fahmy Radhi*
*Pengamat Energi UGM dan Mantan Anggota Tim Anti-Mafia Migas