Eksplorasi.id – Keputusan Presiden Jokowi untuk melaksanakan pengembangan lapangan gas Abadi Blok Masela di darat merupakan arah baru perubahan paradigma pengelolaan sumber daya alam nasional.
Paradigma lama ‘tebang, keruk, sedot, kemudian ekspor’ harus diubah menjadi paradigma baru, yakni sumber daya alam sebagai motor penggerak ekonomi dan pengembangan wilayah dengan meningkatkan nilai tambah dari sumber daya alam di wilayah.
Paradigma baru dalam pengembangan Blok Masela akan berdampak terhadap penerimaan negara menjadi lebih besar, menyediakan lapangan kerja, mendukung pengembangan wilayah, dan diarahkan mengurangi impor produk industri petrokimia beserta turunannya—yang menguras devisa lebih dari Rp 200 triliun per tahun tahun.
Lapangan Abadi di Blok Masela ditemukan (discovery) pada 2000, dilanjutkan dengan pengeboran sumur Appraisal pada 2007, 2008, 2013, dan 2014, yang perkiraan cadangan gas terambilnya lebih dari 22 triliun kaki kubik (trillion cubic feet/ TCF)—data WoodMckenzie, 2015.
Pada awalnya, di 2008, Inpex selaku operator mengusulkan pengembangan Lapangan Abadi dengan cara mengalirkan gas ke fasilitas produksi gas alam cair (liquefied natural gas/ LNG di darat (onshore) di Australia yang ditolak oleh BP Migas.
Kemudian Inpex mengajukan usulan rencana pengembangan (Plan of Development/ POD) dengan skema membangun kilang LNG di laut/ kapal atau Floating LNG (FLNG), yang usulannya disetujui di akhir 2010, dengan produksi 2,5 juta ton per tahun (cadangan 6 TCF).
Dengan disetujuinya usulan POD tersebut, maka Blok Masela dinyatakan komersial dan Inpex berhak untuk memproduksikannya hingga 2028 dengan komposisi hak partisipasi (Participating Interest/ PI) saat ini Inpex Masela Ltd sebesar 65 persen dan Shell Upstream Overseas Services Ltd 35 persen.
Inpex mengajukan revisi POD (dari produksi 2,5 juta ton per tahun menjadi 7,5 juta ton per tahun) di akhir 2015 atau lima tahun sejak POD skenario 2,5 juta ton per tahun disetujui.
Sehingga, dengan belum dilaksanakannya skenario 2,5 juta ton per tahun, maka Inpex telah diselamatkan oleh waktu (saved by the bell). Karena itu sejalan dengan Peraturan Pemerintah No 35/2004.
Peraturan itu berbunyi, jika kontraktor tidak melaksanakan kegiatan sesuai dengan rencana pengembangan lapangan dalam jangka waktu lima tahun, maka kontraktor wajib mengembalikan seluruh wilayah kerja, dan menteri dapat menerapkan kebijakan perpanjangan jangka waktu (dikecualikan terhadap pengembangan gas bumi jika belum terdapat perjanjian jual beli gas bumi).
Seperti kita ketahui, hingga saat ini Inpex belum mendapatkan calon pembeli produksi gas dari Lapangan Abadi. Sehingga, apapun skenario pengembangan yang disetujui pemerintah, dikarenakan belum ada calon pembeli produksi gas, maka Inpex belum dapat menghitung keekonomian proyek.
Atau, dengan kata lain Inpex belum dapat menyajikan usulan pengembangan lapangan secara lengkap, yang berakibat belum adanya kepastian eksekusi pelaksanaaan pengembangan proyek gas bumi Lapangan Abadi.
Berita di media masa menginformasikan bahwa Inpex akan mengajukan rencana pengembangan atau POD pada 2019, dan menetapkan rencana investasi (final investment decision/ FID) pada 2025.
Sehingga, pelaksanaan pengembangan lapangan akan dimulai pasca 2025, menghasilkan awal produksi paling cepat pasca 2029, atau setelah kontrak wilayah kerja berakhir pada 2028.
Seharusnya Inpex dapat segera menyiapkan usulan pengembangan atau POD dengan menggunakan sejumlah asumsi, karena POD adalah seperti ‘GBHN’-nya suatu proyek hulu migas yang bukan yang menjadi acuan, namun bersifat dinamis seperti perhitungan keekonomian hampir pasti berubah.
Hal ini karena harga jual LNG, harga biaya pembangunan fasilitas produksi, dan lainnya mengalami perubahan dalam waktu tiga hingga lima tahun, yaitu beda waktu (lag time) antara POD dengan FID.
Pola dan skema pengembangan dalam POD selayaknya ditetapkan oleh pemerintah melalui Kerangka Acuan Kerja (KAK atau TOR) tanpa harus mengabaikan keekonomian kontraktor kontrak kerja sama (KKKS). Tentu dengan tetap mengedepankan Nawa Cita, kemandirian energi, kemandirian pangan, kemandirian industri di dalam negeri, dan pengembangan wilayah lokasi sumber daya alam migas.
Beberapa hal yang harus dilakukan oleh pemerintah dalam upaya mendukung penyusunan POD diantaranya, jangan menyerahkan sepenuhnya pembuatan POD kepada KKKS, dan pemerintah harus menyusun keekonomian dan manfaat ekonomi nasional dari berbagai pola dan skema pengembangan.
Kemudian, pemerintah memberikan jaminan keekonomian (Internal Rate of Return/ IRR, Net Present Value/ NPV, dan lainnya) kepada KKKS, penyusunan POD melibatkan kementerian/ lembaga berbagai sektor pengguna gas bumi seperti Kementerian Perindustrian, BPH Migas, dan sebagainya, serta KAK selayaknya disampaikan sebagai keputusan rekomendasi pemerintah kepada KKKS.
Dari uraian tersebut di atas terlihat pemerintah memiliki ‘kartu truf’ untuk menekan KKKS agar segera menyampaikan usulan pengembangan (atau POD) dan melaksanakannya sesegera mungkin.
Karena berdasarkan persetujuan POD kurang dari satu tahun pada 2010, wilayah kerja harus dikembalikan kepada pemerintah. ‘Pengecualian’ karena belum adanya calon pembeli gas atau belum adanya Perikatan Jual Beli Gas, menteri dapat menerapkan kebijakan perpanjangan jangka waktu.
Dengan demikian, seharusnya pemerintah mendesak KKKS dan menetapkan jadwal untuk segera menyampaikan usulan pengembangan (POD) yang jika tidak dipenuhi KKKS maka pemerintah tidak akan memberikan perpanjangan jangka waktu (yang seharusnya berakhir pada 2015 yang lalu).
Dan, sudah seharusnya pemerintah memegang ‘komando’ dengan memandu agar Inpex sesegera mungkin menyusun dan menyampaikan rencana pengembangan lapangan atau POD.
Ketidakmampuan Inpex mendapatkan calon pembeli gas bumi produksi Lapangan Abadi selama ini merupakan tanggungjawab dari mereka sendiri, bukan pemerintah. Menutupi ketidakmampuannya, dan tidak tercapainya harapan untuk mengembangkan gas Blok Masela dengan FLNG, Inpex mengulur-ulur waktu untuk menyampaikan usulan POD dan memundurkan rencana investasi atau FID.
Hal ini berakibat rencana awal produksi (onstream) akan tertunda menjadi setelah 2029. Dengan kata lain, Inpex mencoba berjuang untuk menyampaikan usulan pengembangan lapangannya setelah ‘ganti pemerintahan’.
Hal ini Inpex lakukan dengan harapan mencoba mengusulkan skenario FLNG kembali, dengan skenario yang menguntungkan Inpex dan khususnya mitra (Shell). Yaitu untuk menjual teknologi FLNG-nya (yang hingga saat ini belum terbukti) sekaligus menjadikan Lapangan Abadi sebagai ‘kelinci percobaan’ dan ‘sapi perah’, dengan membebankan seluruh biaya investasi dan biaya operasi menjadi tanggungan negara melalui mekanisme cost recovery.
Dengan skenario FLNG, seluruh produksi gas bumi dijadikan LNG yang memudahkan untuk ditransportasikan, sehingga sebagian produksi, khususnya entitlement bagian KKKS plus pengganti cost recovery akan dibawa ke Jepang dalam mendukung energy security Jepang.
Jika ‘motif’ itu bisa dilaksanakan, kedua investor mendapat keuntungan, yaitu Inpex mendukung energy security negaranya di Jepang dan Shell berhasil mengujicobakan dan menjual teknologi baru FLNG-nya. Jika berhasil teknologi FLNG ini akan dapat terjual ke negara lain yang membutuhkan (karena sudah proven atau terbukti).
Mundurnya penyampaian rencana pengembangan lapangan yang katanya pada 2019, akan digunakan oleh KKKS untuk ‘menodong’ pemerintah menyetujui perpanjangan kontrak blok, yang boleh diusulkan 10 tahun sebelum akhir kontrak atau pada 2018.
Kecerdikan Inpex adalah dengan dengan mengusulkan revisi POD kepada pemerintah di akhir 2015 atau beberapa bulan sebelum jangka waktu lima tahun berakhir. Dengan manuver Inpex ini, seharusnya pemerintah dengan tegas memberikan ultimatum batas waktu penyampaian rencana pengembangan lapangan atau POD.
Pemerintah bisa mengacu bahwa ‘kebijakan pengecualian’ sesuai dengan PP Nomor 35/2004 Pasal 96 ayat (2), di mana akan diberikan kepada KKKS, jika usulan pengembangan lapangan atau POD harus dapat disampaikan kepada pemerintah paling lambat satu tahun setelah diputuskannya rencana pengembangan lapangan oleh pemerintah, atau jika tidak dilaksanakan maka KKKS wajib mengembalikan seluruh wilayah kerjanya sejalan dengan PP Nomor 35/2004 Pasal 96 Ayat (1).
Sikap tegas pemerintah ini membutuhkan kesepahaman atau kekompakan di kementerian/ lembaga terkait bersama-sama menyusun skenario dengan paradigma baru ‘Pemanfaatan gas bumi untuk menjadi motor penggerak ekonomi dan pengembangan wilayah’.
Menko Maritim telah menginisiasi Rapat Koordinasi dengan mengundang para kementerian/ lembaga terkait pada 11 Mei 2016. Namun sayangnya rapat koordinasi tersebut hanya dihadiri oleh Menko Maritim selaku pengundang, Menteri PPN/Bappenas, Kepala SKK Migas dan Kepala BPH Migas, sedangkan kementerian/ lembaga lainnya diwakili oleh staf eselon II dan staf lainnya, dan malah ada yang tidak mengirimkan wakilnya.
Hal ini menunjukkan kurangnya semangat koordinasi dan kurangnya keseriusan beberapa kementerian/ lembaga terkait dalam usaha menjadikan sumber daya alam sebagai motor penggerak perekonomian dan pengembangan wilayah.
Oleh Haposan Napitupulu PhD*
*Penulis adalah praktisi migas dan mantan Deputi Perencanaan BP Migas
Comments 2