Eksplorasi.id – Pengoperasian Kilang Trans Pacific Petroleum Indotama (TPPI) di Tuban, Jawa Timur dan Residual Fluid Catalytic Cracker (RFCC) Cilacap, Jawa Tengah yang dikelola PT Pertamina (Persero) berdampak signifikan bagi perekonomian nasional karena dua tempat tersebut akan menjadi kompleks industri petrokimia terbesar di Tanah Air. Pengoperasian dua kilang itu akan memasok kebutuhan industri dasar sekaligus mengurangi ketergantungan impor bahan bakar minyak (BBM).
“Secara keseluruhan dengan beroperasi kedua kilang tersebut negara diuntungkan,” ujar staf pengajar Geoekonomi Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas), Dirgo Purbo.
Kilang TPPI dalam jangka panjang akan menjadi kompleks industri petrokimia. Potensi kawasan itu menjadi pusat pengembangan petrokimia sangat besar karena kilang TPPI selain mampu memproduksi premium, solar, LPG dan HOMC 92 (dikenal sebagai Pertamax 92) juga dapat menghasilkan aromatik. Bahan-bahan turunan dimaksud antara lain, petrochemical, seperti paraxylene, orthoxylene, benzene, dan toluene yang dibutuhkan oleh industri nasional. “Ini adalah masa depan industri dasar petrokimia di Indonesia,” kata Dirgo.
Sedangkan RFCC Cilacap, selain produksi BBM juga memproduksi petrokimia dengan peningkatan pada produksi paraxylene dari 280.000 barel per hari menjadi 485.000 barel per hari (bph). RFCC Cilacap juga mengembangkan pabrik produksi polypropylene baru untuk menaikkan produksi menjadi 153.000 kilo ton per tahun. Proyek ini ditargetkan tuntas dan beroperasi pada 2021.
Berdasarkan data Pertamina, pengoperasian RFCC Cilacap dan Kilang TPPI membuat impor premium turun sekitar 30 persen-42 persen dan pengurangan impor minyak diesel/solar sebanyak 44 persen. Unit RFCC mengolah feed stock berupa LSWR sebanyak 62.000 bph menjadi produk bernilai tinggi, yaitu HOMC 37.000 bph. Dari produksi HOMC tersebut, sebagian besar diproses lebih lanjut untuk diproduksi menjadi premium sehingga produksi premium dari kilang Cilacap naik dari 61.000 bph menjadi 91.000 bph.
Sementara itu kilang TPPI dapat mengolah sekitar 100.000 barel per hari kondensat dan naphta. Dari pengolahan bahan baku dengan mogas mode akan diperoleh beberapa produk minyak, seperti LPG, solar, fuel oil, premium, dan HOMC. TPPI dapat menghasilkan sekitar 61.000 bph premium, 10.000 bph HOMC, dan 11.500 bph solar.
Seiring pengoperasian RFCC Cilacap dan TPPI, sejak Mei 2016 Pertamina sudah tidak mengimpor solar, bahkan sudah surplus karena produksi nasional sudah mencapai 51 juta barel. Sementara pada 2023 akan terjadi swasembada BBM karena produksi kilang mencapai 2 juta barel per hari.
Dirgo mengatakan kunci untuk menunjang swasembada BBM adalah meningkatkan produksi minyak mentah di dalam negeri dan jika memungkinkan meningkatkan program farm in ladang-ladang minyak yang beroperasi di Indonesia. “Juga di kawasan Timur Tengah seperti Irak, Iran dan Kuwait yang mempunyai kualitas minyak light crude,” tukasnya.
Direktur Eksekutif Energi Watch Indonesia, Ferdinand Hutahean, mengatakan untuk menuju swasembada BBM pada 2023 bukan hal mudah jika tidak dilakukan upaya yang kompeherensif. Paling utama yang harus dilakukan adalah pembangunan kilang minyak hingga mencapai kapasitas minimal 2 juta barel perhari, meningkatkan bauran energi dengan bioenergi serta substitusi energi.
Eksplorasi | Aditya