Eksplorasi.id – Manajemen Exxon Mobil Cepu Limited (EMCL) menyebutkan bahwa produksi minyak Lapangan Banyu Urip di Blok Cepu, Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur rata-rata bisa berkisar 180 ribu hingga 185 ribu barel per hari pada dua bulan terakhir.
Pernyataan itu kemudian diamini oleh Bagian Operasi lapangan minyak Banyu Urip Awang Lazuardi kepada Direktur Hulu PT Pertamina (Persero) Syamsu Alam yang berkunjung ke Lapangan Banyu Urip pada Jumat (22/7). “Produksi minyak lapangan Banyuurip Blok Cepu bisa berkisar 180 ribu- 185 ribu bph kenaikannya bertahap,” kata Awang Lazuardi.
Menurut Awang, ketika awal produksi Januari 2016, besarnya produksi minyak Lapangan Banyu Urip yang berlokasi di Kecamatan Gayam hanya mencapai 135 ribu bph. Produksi minyak berkisar 180 ribu hingga 185 ribu bph itu kemudian dikirim melalui pipa distribusi sepanjang 94 kilometer menuju kapal penampungan Gagak Rimang di tengah laut di Tuban.
Di satu sisi, sebenarnya produksi dari Banyu Urip bisa ditingkatkan lagi hingga menyentuh level 205 ribu bph. Dan, pernyataan itu juga dibenarkan oleh Awang maupun Syamsu Alam. Keduanya berkomentar bahwa produksi sumur minyak Lapangan Banyu Urip masih bisa ditingkatkan.
Namun, upaya peningkatan peningkatan produksi tersebut menjadi kewenangan dari SKK Migas. “Secara teknis tidak ada masalah kalau produksi minyak Banyu Urip ditingkatkan, tapi semua bergantung SKK Migas,” jelas mereka.
Pendapat keduanya, diperkirakan produksi puncak Blok Cepu di daerah setempat hanya mampu bertahan sekitar lima tahun. Produksi minyak Blok Cepu memberikan konstribusi sekitar 20 persen produksi minyak Nasional yang sekarang berkisar 800 ribu hingga 830 ribu bph.
Oleh sebab itu, dibutuhkan temuan cadangan minyak baru sekelas Blok Cepu untuk mencukupi kebutuhan minyak secara nasional yang sekarang ini berkisar 1,3 juta hingga 1,4 juta bph. Setidaknya dibutuhkan potensi cadangan minyak sebesar Blok Cepu di lima lokasi untuk menyeimbangkan antara produksi dan kebutuhan,” ucapnya.
Menurut Syamsu Alam, tidak mudah bisa menemukan potensi cadangan migas baru yang cukup besar di Tanah Air, yang mampu menambah cadangan migas nasional sekelas Blok Cepu.
Pihak Pertamina pun mengakui bahwa menemukan cadangan migas baru yang potensinya cukup besar tidaklah mudah. Syamsu Alam kemudian memberikan gambaran bahwa Pertamina pernah melakukan eksplorasi dengan melakukan pengeboran tiga sumur migas, tapi tidak membuahkan hasil.
Tidak hanya itu, juga ada sebuah perusahaan migas luar negeri yang juga melakukan eksplorasi di tengah laut di Tanah Air dengan tujuan mencari potensi cadangan migas baru juga tidak berhasil.
Perlu diketahui, biaya pengeboran satu sumur migas baik yang dilakukan Pertamina juga perusahaan asing mencapai USD 150 juta.
Sikap SKK Migas yang menolak kenaikan produksi Blok Cepu kemudian dipertanyakan oleh sejumlah pihak, diantaranya oleh Center of Energy and Resources Indonesia (CERI). Menurut CERI, penolakan kenaikan produksi oleh SKK Migas melalui sebuah surat yang diteken Kepala SKK Migas Amien Sunaryadi menandakan sebuah tingkah aneh yang aneh.
Pasalnya, Sudirman Said kala masih menjabat sebagai menteri ESDM, pernah berkomentar dalam sebuah rapat dengan DPR terkait APBN, bahwa lifting dalam APBN tidak mencapai 830 ribu bph.
“Ini ada peluang meningkatkan lifting ditolak usulan ExxonMobil Cepu Limited (EMCL). Maksudnya Amien itu apa? Agar negara ini ekspor minyak terus atau apa? Atau ada kepentingan lain yang coba dia lindungi,” jelas Yusri kepada Eksplorasi.id, Kamis (23/6).
Yusri juga mempertanyakan alasan Amien yang menyebutkan jika produksi Lapangan Banyu Urip meningkat maka hak Pertamina EP Cepu akan banyak diekspor. Pertanyaannya kemudian, apakah benar Pertamina EP Cepu akan mengekspor minyak Banyu Urip jika produksi ditingkatkan?
Pernyataan Amien lantas dibantah secara normatif oleh juru bicara Pertamina Wianda Pusponegoro bahwa pihaknya akan bekerja maksimal untuk bisa memberikan angka produksi yang optimum. “Kami suka berkoordinasi dan senang berkomunikasi, semoga pastinya ada solusi terbaik. Kami pun belum ada rencana ekspor karena domestik harus dipenuhi dahulu,” jelas Wianda, kala itu.
Komentar Amien juga dibantah oleh Yusri Usman. Kata Yusri, tidak mungkin Pertamina akan mengekspor minyak tersebut sementara saat ini perseroan dalam kondisi susah mencari minyak mentah untuk kebutuhan kilangnya sendiri.
“Kalau benar minyak itu kemudian diekspor oleh Pertamina, maka saya berani katakan anomali ini kental muatan mafia migasnya. Dan, Pertamina sudah membantah tidak akan mengekspornya. Amien jangan berlindung dengan menjelekkan Pertamina,” tegas Yusri, saat itu.
Mengutip pernyataan Yusri, dia mendapat informasi bahwa ada minyak mentah bagian negara yang dijual dengan cara-cara diekspor dengan alasan operasional. Belum lagi ditambah penjualan minyak mentah bagian negara ke pihak swasta yang di bawah harga normal alias memperoleh diskon.
Yusri juga dengan tegas mengatakan bahwa ada dugaan pelarangan kenaikan produksi minyak di Blok Cepu merupakan bagian dari mafia impor. Dia menggunakan logika sederhana, tidak masuk akal minyak yang berasal dari produksi dalam negeri tidak disuplai untuk kepentingan negara melalui Pertamina tapi malah diprioritaskan untuk diekspor.
Penolakan kenaikan produksi Blok Cepu usulan EMCL selaku operator Blok Cepu oleh Amien Sunaryadi terungkap dalam surat tertanggal 6 Juni 2016 bernomor SRT-0325/SKKO0000/2016/S1 perihal usulan produksi melampui 185 KBD Lapangan Banyu Urip, Wilayah Kerja Cepu.
Surat itu langsung diteken oleh Amien Sunaryadi dan ditujukan kepada president EMCL. Dalam surat tersebut ada 12 alasan kenapa Amien menolak peningkatan produksi tersebut.
Pada poin empat misalnya, Amien menjelaskan bahwa dengan produksi melebihi 185 ribu bph sampai maksimum 205 ribu bph, maka lama puncak produksi hanya kurang dari satu tahun, sedangkan jika puncak produksi 165 ribu bph, lamanya puncak produksi minyak bisa mencapai 33 bulan.
Kemudian, pada poin 11 Amien Sunaryadi juga beralasan bahwa adanya kenaikan produksi ke 205 ribu bph akan menuntut Pertamina untuk menyediakan tambahan kapal yang memenuhi persyaratan EMCL, karena kapasitas lifting dari Pertamina yang ada saat ini hanya 3,7 juta barel per bulan.
“Jika produksi melebihi 185 ribu bph, kargo domestik PEPC (Pertamina EP Cepu) akan lebih sering diekspor dibandingkan dijual ke domestik untuk menghindari potensi gagal lifting akibat kilang/ kapal. Jika lifting gagal, maka pihak EMCL akan mengenakan denda USD 0,6/bbl ke PEPC,” tulis Amien pada poin 12.
Amien Sunaryadi pernah membantah bahwa dirinya telah melarang produksi minyak di Lapangan Banyu Urip, Blok Cepu untuk ditingkatkan. “Bukan larangan, tapi menjaga produksi pada level yang paling optimal untuk negara,” kata dia melalui pesan WhatsApp Messenger yang dikirim ke Eksplorasi.id.
Pertanyaan kemudian, apakah benar pernyataan yang dilontarkan Amien tersebut untuk menjaga produksi pada level yang optimal sementara lifting nasional terus mengalami penurunan.
Arcandra Tahar sebagai menteri ESDM yang baru menggantikan Sudirman Said tampaknya perlu membentuk tim investigasi untuk menyelidiki persoalan sebenarnya terkait peningkatan produksi Blok Cepu tersebut.
Tim Eksplorasi