Eksplorasi.id – Pemerintah menyatakan telah menerbitkan beleid teranyar perihal mekanisme pemanfaatan gas bumi nasional yang direpresentasikan melalui Peraturan Menteri (Permen) Nomor 6 Tahun 2016 tentang Ketentuan dan Tata Cara Penetapan Alokasi dan Pemanfaatan serta Harga Gas Bumi.
Dalam beleid yang merupakan hasil revisi dari Permen ESDM Nomor 37 Tahun 2015 tentang Ketentuan dan Tata Cara Penetapan Alokasi dan Pemanfaatan serta Harga Gas Bumi, pemerintah menyatakan bahwa para pelaku usaha distribusi atau trader masih berpeluang memperoleh alokasi gas bumi.
Hanya saja, dalam ketetapan terbarunya pemerintah telah menetapkan sejumlah ketentuan bagi para pengusaha baik itu pelaku industri berbasis gas bumi, badan usaha pemegang izin usaha penyediaan tenaga listrik, dan badan usaha pemegang izin usaha niaga yang menjual gas bumi.
Di mana ketetapan tersebut meliputi: mengantongi Izin Usaha Niaga gas bumi yang diterbitkan Kementerian ESDM; memiliki atau menguasai infrastruktur pipa penyalur kepada pengguna akhir; sampai pada alokasi gas hanya dapat dijual kepada pengguna akhir dengan harga jual yang wajar.
“Dalam hal alokasi dan pemanfaatan gas bumi yang telah ditetapkan, (jika) belum ditindaklanjuti dengan perjanjian jual-beli gas bumi dalam jangka waktu 12 bulan setelah ditetapkan (maka) alokasi gas bumi akan dievaluasi ulang oleh Menteri,” tulis Menteri ESDM, Sudirman Said dalam beleid tersebut.
Meski pemanfaatan gas bumi diprioritaskan untuk kepentingkan domestik, pemerintah akan tetap membuka peluang bahwa jika alokasi dan pemanfaatan gas bumi dalam negeri belum dapat terserap maka para trader gas bumi baik itu bagian negara atau kontraktor diperbolehkan untuk melego ‘jatahnya’ dengan lebih dulu menggelar lelang.
“Pemenang lelang sebagaimana dimaksud akan diajukan permohonan persetujuan alokasi dan harga gas bumi oleh SKK Migas kepada Menteri,” imbuh Sudirman.
Selain mengatur ihwal mekanisme pemanfaatan gas bumi untuk kepentingan nasional, sejatinya Permen 6/2016 juga membahas mengenai ketentuan ekspor gas.
Sudirman mengungkapkan, ekspor gas dapat dilakukan bila kebutuhan gas sudah terpenuhi, atau gas bumi dapat diekspor jika infrastruktur di dalam negeri belum memadai dan daya beli konsumen domestik tidak dapat memenuhi keekonomian lapangan.
“Penetapan harga gas bumi dilakukan dengan mempertimbangkan keekonomian lapangan, harga gas bumi di dalam negeri dan internasional, serta nilai tambah dari pemanfaatan gas bumi di dalam negeri,” cetus Sudirman dalam pasal 15.
Mengacu pada beleid ini pemerintah juga membuka peluang kepada para kontraktor untuk bisa melego gas suar atau flare gas.
Akan tetapi, untuk bisa memperoleh persetujuan atas upaya optimalisasi pemanfaatan gas suar bakar kontraktor wajib mengusulkan rencana tadi ke meja SKK Migas.
Dengan catatan para kontraktor diharuskan menambah fasilitas gas di hulu atau mempercayakan pemanfaatan gas tadi kepada badan usaha pemegang izin usaha pengolahan atau niaga.
“Direktur Jenderal atas nama Menteri menetapkan alokasi dan harga gas suar bakar dengan memperimbangkan usulan kontraktor setelah dievaluasi oleh SKK Migas. Sementara untuk penetapan harga akan mengacu pada kemampuan daya beli konsumen dalam negeri dan dukungan terahadap program pemerintah dalam hal penyediaan gas bumi bagi transportasi, rumah tangga dan pelanggan kecil,” tambahnya.
Yang harus diingat, dalam beleid ini pemerintah juga telah menyiapkan sanksi administrasi untuk badan usaha yang melanggar ketentuan-ketentuan yang sudah ditetapkan.
Di mana sanksi tadi berupa teguran tertulis hingga pembatalan penetapan alokasi dan pemanfaatan gas bumi ata harga.
“Dalam hal ini Direktur Jenderal mengusulkan kepada menteri untuk mencabut penetapan alokasi dan pemanfaatan gas bumi serta harga. (Nantinya) menteri akan menerbitkan penetapan pencabutan alikasi dan pemanfaatan gas bumi serta harga,” tulis pasal 31 ayat 6.
Eksplorasi | CNN Indonesia | Yudo