Eksplorasi.id-Dalam acara coffee morning di Ditjen Ketenagalistrikan (DJK) Kementerian ESDM pagi ini, pemerintah mensosialisasikan Peraturan Menteri ESDM Nomor 18 Tahun 2016 tentang Aturan Jaringan Sistem Tenaga Listrik Kalimantan.
Aturan baru ini merupakan regulasi yang menjelaskan aturan, persyaratan, dan standar untuk menjamin keamanan, keandalan, serta pengoperasian dan pengembangan sistem yang efisien dalam memenuhi peningkatan kebutuhan tenaga listrik pada Sistem Tenaga Listrik Kalimantan.
Kepala Divisi Pengembangan Regional Kalimantan PLN, Sudibyo, mengungkapkan bahwa secara umum sebenarnya standar-standar untuk jaringan listrik di Kalimantan sama dengan di pulau-pulau lain di Indonesia.
Yang membedakan adalah kapasitas pembangkit listrik terbesar di Kalimantan. Sudibyo menjelaskan bahwa total beban puncak di seluruh sistem di Kalimantan baru di kisaran 1.000 MW. Sistem dengan beban puncak paling besar adalah Sistem Kalimantan Selatan dan Tengah, yaitu 500 MW.
Maka pembangkit listrik terbesar di Kalimantan saat ini baru 65 MW. Pembangkit listrik yang kapasitasnya ratusan atau bahkan ribuan Mega Watt seperti di Jawa terlalu besar untuk Kalimantan.
“Sebenarnya pada prinsipnya sama. Kekhasannya adalah besar sistemnya. Di Kalimantan itu sistem dengan beban puncak paling tinggi saja baru 500 MW, itu di Sistem Kalimantan Selatan dan Tengah (Kalselteng). Kan nggak mungkin kalau beban puncaknya 500 MW lalu pembangkit listriknya 300 MW atau malah 500 MW. Jadi 1 sistem itu tidak dipasok oleh 1 pembangkit besar begitu. Kalau di Kalimantan paling 45 MW, 60 MW,” papar Sudibyo saat ditemui di Kantor DJK, Jakarta, Senin (26/9/2016).
Dia menambahkan, frekuensi listrik harus dijaga stabil, misalnya di kisaran 50 Hertz (Hz), tidak boleh naik turun. Satu sistem kelistrikan tidak boleh bergantung hanya pada satu pembangkit listrik karena itu dapat mengganggu stabilitas frekuensi.
Sebagai contoh, Sistem Kalselteng beban puncaknya 500 MW. Kalau sebagian besar listrik untuk sistem ini dipasok dari 1 pembangkit saja, maka sistem akan goyah ketika pembangkit listrik yang terbesar itu mengalami gangguan.
Pemadaman listrik pada sebagian pelanggan mau tak mau harus dilakukan untuk menjaga frekuensi listrik 50 Hz. Untuk menghindari itu, sumber pasokan listrik dibagi ke beberapa pembangkit yang kapasitasnya kurang dari 100 MW.
“Pembangkit harus bekerja misalnya dengan frekuensi 50 Hertz, kemudian dia boleh berfluktuasi berapa persen, itu yang diatur. Frekuensi harus dipertahankan pada batas itu. Kalau misalnya pembangkit 200 MW dari beban puncak 500 MW, kita kehilangan 40 persen kalau pembangkit terganggu, pasti sistem tidak bisa bertahan dan akan ada pemadaman pelanggan secara otomatis,” ujar Sudibyo.
Itulah sebabnya pembangkit ‘raksasa’ yang dayanya sampai 1.000 MW hanya bisa dibangun di Jawa. Beban puncak Sistem Kelistrikan Jawa-Bali sudah mencapai 25.000 MW, frekuensi listrik tetap terjaga seandainya pembangkit 1.000 MW terganggu.
“Beda kalau di Jawa, pembangkitnya sudah 300 MW, 500 MW. Secara pengoperasian berbeda. Beban puncak Jawa-Bali sudah 25.000 MW, pembangkit terbesarnya bisa 1.000 MW, tapi itu cuma satu per dua puluh lima dari beban keseluruhan. Mungkin pembangkit paling kecil di Jawa jadi paling besar di Kalimantan,” tutur Sudibyo.
Meski begitu, konsumsi listrik di semua wilayah Indonesia terus tumbuh dari tahun ke tahun. Dalam proyek 35.000 MW, disiapkan pembangkit dengan kapasitas di atas 100 MW di Kalimantan. Ini untuk mengantisipasi kebutuhan listrik di masa mendatang.
“Berikutnya akan masuk pembangkit-pembangkit yang kapasitasnya di atas 100 MW, sudah PPA (Power Purchase Agreement). Tapi yang sekarang sudah ada (di Kalimantan) paling besar 65 MW, itu PLN sudah punya. Nanti di Kalimantan paling gede 200 MW,” tutupnya.
Reporter : Ponco