Eksplorasi.id – Petronas bermaksud ingin mengelola blok minyak dan gas bumi baru dengan PT Pertamina (persero) sebagai wujud kerja sama yang dilakukan.
“Untuk investasi di blok-blok baru, pihaknya masih melakukan evaluasi terhadap blok migas yang ditawarkan pemerintah dengan skema open bid split,” kata President Petronas Carigali Muriah Limited Mohamad Zaini di Jakarta, Senin (10/10).
Walaupun harga minyak masih murah, dia menilai potensi pengembangan di blok baru masih ada. “Harga minyak di kisaran US$60 per barel, cukup membuat perusahaan semakin optimistis,” ujar Zaini.
Tidak menutup kemungkinan, Zaini menyebut kegiatan di blok-blok baru dilakukan bersama PT Pertamina (persero) sebagai wujud penandatanganan nota kerja sama (memorandum of cooperation/MoC) karena sebelumnya Petronas pun bermitra dengan Pertamina pada pengelolaan Blok Jabung, Jambi.
Meskipun merujuk pada banyak peluang kerja sama, dia menyebut peluang terbesar adalah pengembangan usaha di sektor hulu. “Mungkin nanti kalau ada new block, new PSC, kami akan sama-sama dengan Pertamina,” ujarnya.
Lebih lanjut, di masa minyak murah ini, pihaknya masih ingin menambah kegiatan investasi terutama di Asia Tenggara. Myanmar, Malaysia, Vietnam dan Indonesia masih menjadi tujuan investasi. Dia mengakui setiap negara memiliki tantangan yang berbeda-beda.
Dia menilai Indonesia dengan wilayahnya yang luas masih menyimpan potensi migas yang belum terjamah. Di sisi lain, pemerintah pun tengah berbenah guna menaikkan daya tarik investasi hulu.
Hal ini menjadi sinyal positif. Rasio pengembalian investasi (internal rate of return/IRR) di Indonesia tergolong cukup tinggi dan Petronas masih berminat dengan wilayah-wilayah seperti Kalimantan. “Kami masih tertarik dengan wilayah wilayah di Indonesia seperti Kalimantan, Jawa,” katanya.
Tapi kendala lamanya proses birokrasi diakuinya membuat pelaku usaha harus lebih bersabar. Sebagai gambaran, dia menyebut di Malaysia pelaku usaha hanya membutuhkan waktu sekitar satu bulan dari lembaga pengawas kegiatan usaha hulu untuk memperoleh kejelasan terkait rencana pengembangan yang diajukan.
Sayangnya, kondisi tersebut tak terjadi di Indonesia. Rata-rata persetujuan PoD atau PoFD, menurut Zaini yang baru menduduki jabatan selama tiga bulan itu, memakan waktu satu tahun karena harus mendapat persetujuan dari menteri energi dan sumber daya mineral (ESDM). “Standar PoFD atau PoD di Indonesia satu tahun, di Malaysia satu sampai dua bulan.” pungkasnya.
Reporter: Ponco