Eksplorasi.id – Keputusan Kementerian ESDM akan membuka keran impor gas, di tengah masih meruahnya cadangan gas di Indonesia, mendapat penolakan.
Fahmy Radhi, pemerhati sektor energi dari Universitas Gajah Mada, mengatakan, sebuah tindakan ironi jika benar keran impor gas tersebut dibuka.
“Tidak saja ironi bagi negeri ini, tapi juga patut dicurigai sebagai modus mafia migas dalam menancapkan kekuasaannya untuk pemburuan rente berkepanjangan dalam impor gas,” kata dia kepada Eksplorasi.id melalui pesan WhatsApp Messenger, Kamis (13/10).
Mantan anggota Tim Reformasi Tata Kelola Migas ini mengungkapkan, modus tersebut sama persis yang terjadi pada saat pemerintahan Soeharto memutuskan impor BBM, yang saat itu minyak Indonesia masih berlimpah.
“Memang impor BBM saat itu bisa dengan harga lebih murah lantaran tidak tersedia kecukupan kilang untuk olah BBM di dalam negeri. Menggunakan Petral kala itu, pemburuan rente impor BBM yang sangat menguntungkan bagi mafia migas namun merugian negara berlangsung lebih 20 tahun,” ungkap dia.
Fahmy menjelaskan, memang di awal impor harga bisa lebih murah dibanding harga gas dalam negeri. Namun, lanjut dia, saat pemburuan rente di balik impor gas berlangsung, harga gas impor dipastikan akan lebih mahal.
“Lantaran mahalnnya harga gas impor, akhirnya pemerintah nanti dipaksa untuk alokasikan subsidi gas, yang menguras APBN, dengan alasan agar harga gas terjangkau oleh konsumen,” tegas dia.
Kemudian, imbuh Fahmy, dalam waktu bersamaan, pasukan mafia gas secara sistemik mencegah penambahan pembangunan infrastruktur agar impor gas berlangsung terus menerus, sehingga rent seeker beserta kroni dapat menikmati rente secara berkelanjutan dan turun menurun.
“Presiden Jokowi harus menolak impor gas, yang tidak saja ironis bagi negeri ini, tetapi juga diduga sebagai agenda awal mafia migas dalam pemburuan rente di balik keputusan impor gas. Ini persis yang dilakukan mafia migas terhadap impor BBM. Say no for gas import,” katanya.
Reporter : Diaz