Eksplorasi.id – PT Chevron Pacific Indonesia dan Chevron Indonesia Company melalui unit usahanya, Chevron Geothermal Indonesia Ltd dan Chevron Geothermal Salak Ltd, diketahui akan melakukan divestasi di dua lapangan panas buminya.
Kedua lapangan panas bumi yang akan didivestasi oleh Chevron adalah, PLTP Darajat (270 MW) yang terletak di Kabupaten Garut, Jawa Barat, dan PLTP Gunung Salak (377 MW) yang berlokasi diKabupaten Sukabumi, Jawa Barat.
Hasanuddin, ketua umum Asosiasi Daerah Penghasil Panas Bumi Indonesia (ADPPI), mengatakan, saat ini proses divestasi tersebut telah memasuki tahapan pemasukan penawaran dari calon pembeli, dan kemudian dilanjutkan dengan pemilihan pembeli terbaik.
“Proses ini tentu perlu disikapi. Karena posisi Chevron pada kedua lapang panas bumi tersebut sebagai operator dan bukan sebagai pemilik aset. Hal ini berdasarkan Kontrak Operasi Bersama (KOB)/ Joint Operation Contract (JOC) PLTP Darajat tanggal 16 November 1984, dan PLTP Gunung Salak pada 11 Februari 1982,” kata dia dalam keterangan tertulis yang dikirim ke Eksplorasi.id, Jumat (25/11).
Hasanuddin menjelaskan, dalam KOB/ JOC tersebut jelas disebutkan bahwa PT Pertamina (Persero) sebagai pemilik wilayah kerja panas bumi (WKP) dan Chevron hanya sebagai operator.
Aturan itu juga dipertegas oleh Peraturan Bersama Menteri ESDM, Menteri Keuangan dan Menteri BUMN
No 14 Tahun 2013,/33.PMK.06/2013, /Per-01/MBU/2013 tanggal 8 Februari 2013.
Pasal 2 keputusan bersama itu berbunyi; Aset hulu dan aset hilir panas bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 meliputi aset yang telah ada (existing asset) dan aset yang akan ada (future asset) yang diatur dalam kontrak yang telah ditandatangani oleh Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara (PERTAMINA) dalam Kontrak Operasi Bersama (Joint Operation Contract), termasuk amandemennya.
Kemudian pasal 3; Aset sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 merupakan aset milik PT Pertamina (Persero) dan dibukukan sebagai penyertaan modal negara, yang belum tercatat pada saat penetapan neraca pembukaan PT Pertamina (Persero), kecuali ditentukan lain di dalam Kontrak Operasi Bersama (Joint Operation Contract) yang proyeknya telah berlangsung.
Lalu pasal 5 juga menyatakan; PT Pertamina (Persero) mengalihkan status kepemilikan aset sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 kepada anak perusahaan yang dibentuk untuk melaksanakan pengusahaan panas bumi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan tanpa menunggu penetapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4.
Hasanuddin menegaskan, karena adanya sejumlah aturan yang coba dilanggar dalam proses divestasi tersebut, maka ADPPI coba menyikapi sejumlah hal.
Pertama, keputusan Chevron pada kedua lapang panas bumi tersebut bukanlah divestasi atas aset PLTP Darajat dan PLTP Gunung Salak, karena kedua aset tersebut milik Pertamina. Chevron hanyalah pemilik hak operator sebagai konsesi investasi pada kedua lapang tersebut.
Kedua, keputusan mundur Chevron harus dihormati sebagai hak perusahaan dalam menentukan strategi dan upaya bisnis yang dilakukannya, namun mundurnya Chevron dari kedua lapang panas bumi tersebut harus dipahami sebagai keputusan mundur sebagai operator.
Ketiga, oleh sebab keputusan mundur sebagai operator, maka Chevron seharusnya menyerahkan hak operator kepada pemilik WKP, dalam hal ini Pertamina (PGE), dan prosesnya di bicarakan business to business (B to B) sesuai prinsip kelaziman bisnis, dan bukan melakukan divestasi aset sebagaimana yang terjadi.
Keempat, proses ini tidak dapat berlangsung dengan cepat, sehubungan banyak hal yang perlu dibicarakan, dengan melibatkan berbagai pihak dengan tahapan-tahapan tertentu.
Pembicaraan itu misalnya belum ada aturan mengenai mekanisme dan prosedur pengalihan hak operator yang menjadi kerangka masing-masing pihak. Pemerintah juga perlu melakukan pemeriksaan menyeluruh mengenai hal yang berkaitan dengan kondisi atau keadaan pembangkit, SDM dan posisi keuangan.
Kelima, jika tetap dilanjutkan dalam proses divestasi sebagaimana yang terjadi saat ini, maka negara berpotensi dirugikan, dan berpeluang terjadinya praktek koruptif, menjual aset negara, karena itu prosesnya harus ditunda atau dihentikan terlebih dahulu.
Keenam, ADPPI memandang perlu ikut terlibat memberikan masukan sehubungan dengan dampak dari proses ini terhadap kepastian dana bagi hasil (DBH), bonus produksi, corporate social responsibility (CSR) dan status karyawan yang banyak berdomisili di wilayah kerja kedua lapang panas bumi tersebut. Ketujuh, ADPPI meminta Komisi VII DPR segera mengambil sikap dan langkah-langkah yang diperlukan.
Reporter : Diaz