Eksplorasi.id – Asosiasi Daerah Penghasil Panas Bumi Indonesia (ADPPI) menyatakan bahwa sudah saatnya menteri ESDM menggunakan kewenangannya selaku pemegang otoritas penyelenggaraan pengusahaan panas bumi untuk memfasilitasi penyelesaian persengketaan antara PT Geo Dipa Energi (Persero) dengan PT Bumi Gas Energi.
Ketua Umum ADPPI Hasanuddin mengatakan, hal itu sebagaimana diatur di dalam UU No 21/2014 tentang Panas Bumi dan Peraturan Pemerintah (PP) No 7/2017 tentang Panas Bumi untuk Pemanfaatan Tidak Langsung.
“Kewenangan ini memerhatikan pasal 5, 6, 36, 37, 65, 78 dan 84 UU No 21/2014 dan Pasal 2, 3, 79, 103, 113 dan 115 PP No 7/2017 tentang,” kata dia dalam keterangan tertulis yang dikirim ke Eksplorasi.id, Selasa (16/5).
Menurut Hasanuddin, dalam pengusahaan panas bumi, kepastian potensi adalah salah satu persoalan bagi para pengembang. Pada sisi ini, lanjut dia, pengembang dihadapkan pada persoalan risiko yang cukup besar. Namun, dengan perkembangan teknologi dan pengalaman para ahli, risiko ini dapat diatasi secara profesional.
“Ada risiko lain dalam pengusahaan yang tidak dapat diatasi secara teknis, yaitu ketidakpastian sosial dan regulasi, yang tentu saja hal
ini menjadi tanggungjawab pemerintah sebagai pemegang otoritas dalam penyelenggaraan pengusahaan panas bumi,” ujar dia.
Penjelasan Hasanuddin, salah satu persoalan penting dalam pengusahaan panas bumi yang saat ini menjadi sorotan berbagai pihak adalah terkait dengan sengketa antara Geo Dipa dengan Bumi Gas pada WKP Dieng dan Patuha yang telah berlangsung lama.
“Apa yang terjadi antara para pihak yang bersengketa di WKP Dieng dan Patuha adalah persoalan sengketa korporasi biasa yang dapat segera terselesaikan, apabila para pihak memegang komitmen terhadap pengembangan panas bumi dan saling menjaga etika bisnis,” jelas dia,
Dia menambahkan, ada tiga hal yang perlu digarisbawahi dalam sengketa tersebut. Pertama, Geo Dipa mendapatkan kuasa pengusahaan secara khusus (setelah penyelesaian permasalahan antara pemerintah Indonesia, Pertamina, PLN, Himpurna California Energi/HCE dan Patuha Power Limited/PPL).
“Pemberian kuasa pengusahaan ini tidak mengacu Keppres No 22/1981, sebagaimana diubah dengan Keppres No 45/1991, di mana kuasa pengusahaan hanya diberikan kepada Pertamina melalui skema joint operation contract (JOC) dan izin pengusahaan. Namun izin ini hanya diberikan untuk pengusahaan panas bumi skala kecil kepada badan usaha lainnya,” katanya.
Kedua, pemerintah melalui menteri Keuangan mengambil PLTP Dieng-Patuha dari HCE dan PPL melalui Surat Nomor 436/MK 02 12-001 pada 4 September 2001, dan menunjuk PLN sebagai pengelola proyek PLTP Dieng-Patuha.
Sebagai tindak lanjut, lanjut Hasanuddin, PLN dan Pertamina kemudian meneken perjanjian kerja sama pendirian perusahaan Geo Dipa dan joint development agreement (JDA) PLTP DiengPatuha.
Lalu, pada 8 Oktober 2004, berdasarkan sesuai Surat No 1074/D00000/2004-S0, Pertamina meminta arahan dan pendapat pemerintah cq dirjen Geologi Sumber Daya Mineral/GSDM (sekarang Badan Geologi KESDM), mengenai status area kontrak Dieng dan Patuha eks HCE dan PPL setelah diterrminasinya JOC.
“Kemudian hal itu ditindaklanjuti dalam rapat 18 Januari 2005 di Ditjen GSDM yang dipimpin olen dirjen GSDM dan dihadiri oleh Departemen ESDM (sekarang Kementerian ESDM) dan Departemen Keuangan (sekarang Kementerian Keuangan),” jelasnya.
Hasil rapat, terang Hasanuddin, merekomendasikan agar Pertamina segera menyerahkan (relinguishment) area kontrak HCE dan PPL di lapangan panas bumi Dieng dan Patuha yang berada di dalam WKP Pertamina kepada pemerintah cq dirjen Mineral, Batubara dan Panas Bumi untuk kemudian diserahkan kepada Geo Dipa yang merupakan joint venture (JV) Pertamina (67 persen) dan PLN (33 persen).
Ketiga, baru sekitar 2005 pihak pemerintah menyelesaikan hal berkaitan dengan pendirian Geo Dipa dan proses penyerahan WKP. Namun manajemen Geo Dipa pada 5 Maret 2003 telah menunjuk Bumi Gas sebagai pemenang tender. Keputusan pemegang saham yang memberi persetujuan kepada Geo Dipa baru terbit pada 17 Mei 2004.
“Baru pada 1 Februari 2005 dibuat dan diteken perjanjian Dieng and Patuha Geothermal Project Development Agreement No KTR.001/
GDE/11/2005. Hal inilah yang kemudian menjadi persoalan hingga hari ini,” ungkap Hasanuddin.
Reporter : Sam