Eksplorasi.id – Menurut prediksi DEN (Dewan Energi Nasional), Indonesia akan mengalami kekurangan gas mulai tahun 2019. Berapa banyak kekurangannya? Sebuah artikel di Jakarta Post tanggal 8 Februari 2017 yang ditulis oleh Fedina Sundaryani, mengindikasikan jumlah kekurangan gas diprediksi sebesar 500 mmcsfd di tahun 2019 dan akan terus berlangsung hingga mencapai kurang lebih 10,000 mmscfd di tahun 2030 akibat peningkatan kebutuhan dan penurunan produksi yang ada.
Ada dua acara untuk mengatasi kekurangan gas, yaitu, pertama impor dan kedua mengembangkan potensi gas di dalam negeri yang belum dikembangkan. Artikel ini ditulis untuk membandingkan antara dua solusi tersebut dan menunjukkan bahwa solusi kedua adalah solusi yang paling lebih baik untuk Indonesia.
Solusi pertama adalah mengimpor gas, yang terlihat seperti solusi yang tepat, mengingat, kondisi-kondisi di bawah ini :
- Menurut Wood Mackenzie, prospek harga jual gas jangka panjang untuk energi di Indonesia ada di kisaran US$8 – US$10 per mmbtu (rata-rata US$9 per mmbtu) dibandingkan dengan harga gas di Malaysia dan Singapura yang berada di kisaran US$4 per mmbtu.
- Pertamina memperkirakan sekitar US$ 70 sampai dengan US$ 80 milyar dibutuhkan untuk mengembangkan infrastruktur gas sampai dengan tahun 2030 (Sundaryani, F., 2017, Risk of gas shortage haunts Indonesia, Jakarta Post).
Melihat kedua alasan tersebut diatas, sebagian besar orang akan dengan mudah menyimpulkan bahwa mengimpor gas adalah solusi yang tepat karena biaya untuk mengimpor gas dan harga gas itu sendiri lebih rendah dibandingkan harga gas di Indonesia. Sebagai tambahan, Pemerintah RI tidak perlu membangun infrastruktur yand membutuhkan biaya yang tinggi.
Dengan anggapan harga gas impor adalah US$4, pada kenyataannya pemerintah RI masih perlu membayar biaya re-gassing dan transportasi dari pemasok ke fasilitas re-gas. Lebih lagi, dalam jangka panjang, lebih banyak lagi fasilitas re-gas yang dibutuhkan untuk mengakomodasi gas impor yang terus masuk. Kesimpulannya, harga gas impor tidak akan lagi sebesar US$4 / mmbtu.
Kemudian, solusi kedua merupakan solusi yang terbaik bagi Indonesia. Argumentasi pertama yaitu harga. Harga rata-rata sebesar US$9 per mmbtu terdiri dari 2 komponen seperti, harga gas aktual pada well head (sekitar US$4) dan biaya transportasi gas dari well head ke pelanggan (sekitar US$5) yang dapat berbentuk FLNG atau jalur pipa gas.
Komponen pertama, harga pada well head, berdasarkan kontrak PSC sebagian besar jatuh ke pemerintah Indonesia sebagai bagian pemerintah dan pajak.
Komponen kedua, biaya sekitar US$5 juga dapat memberikan keuntungan besar kepada masyarakat Indonesia karena proyek berada di Indonesia dan memiliki banyak dampak pengganda di Indonesia seperti contohnya pembukaan lapangan pekerjaan, penggunaan barang local, dan berbagai layanan dalam negeri, daripada mengirimkan modal ke luar negeri.
Argumen ke dua merupakan infrastruktur gas. Apakah pemerintah perlu mengeluarkan biaya sebesar 70 sampai 80 milyar dollar untuk membangun infrastuktur? Jawabannya adalah tidak, biaya pembangunan infrastruktur akan diambil dari proyek itu sendiri (US$5 per mmbtu) yang awal mulanya dibiaya oleh kontraktor.
Contoh nyata dapat diambil dari evaluasi komersial dari penemuan gas di East Natuna mengindikasikan bahwa harga gas impor harus kurang dari US$1.6 per mmbtu, jika tidak, gas impor tersebut akan menjadi negative bagi perekonomian Indonesia. Dalam contoh ini, 80% pendapatan akan menetap di Indonesia.
Kesimpulannya, berdasarkan contoh diatas, menurut pendapat saya, mengembangkan gas yang ada di Indonesia, jelas merupakan cara yang tepat untuk mempersiapkan kekurangan gas di tahun 2019, karena, Pertama, gas lokal memberikan keuntungan komersial yang sangat besar bagi perekonomian Indonesia dibandingkan dengan gas impor.
Kedua, apa yang disebut sebagai “biaya rendah” gas impor, ternyata merupakan nilai negatif bagi GDP Indonesia dibandingkan dengan biaya produksi gas lokal.
Ketiga, hal yang terpenting : sebuah negara yang mengembangkan potensi gas nya sendiri, dapat mengontrol nasibnya sendiri. Hal tersebut akan melindungi dari harga yang tinggi yang kemungkinan akan timbul dari mengimpor gas. Bila harga gas menjadi rendah, maka negara akan tetap memiliki pilihan untuk mengimpor gas sebagai pelengkap dari produksi domestik.
Penulis:
Yusak Setiawan
Independent Consultant
Former Country Manager Murphy Indonesia