Eksplorasi.id – Pada saat debat pilpres yang lalu, masyarakat bangga dengan pernyataan Pak Jokowi bahwa mafia minyak Petral sudah dibubarkan, sehingga berharap harga BBM akan turun.
Akan tetapi kemudian isu mafia migas ini mencuat kembali menjadi opini akibat riuhnya berita pengangkatan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok menjadi komisaris utama PT Pertamina (Persero).
Apakah benar mafia migas tersebut masih ada di Pertamina? Jika tidak ada maka tentunya akan melukai perasaan segenap direksi dan karyawan Pertamina yang sekarang ini sedang bekerja keras bebenah diri untuk menjadikan Pertamina sebagai World Class NOC.
Sebenarnya pemerintah punya instrumen untuk mencermati tender minyak mentah dan BBM di Integrated Supply Chain (ISC) Pertamina, sehingga dapat melihat bahwa supply chain dalam tender ISC sekarang ini menjadi sangat singkat dan tidak sepanjang ketika tender minyak mentah dan BBM di handling oleh Petral.
Pada saat tender di Petral, supply chain-nya adalah; Trader/MOC – Calo 1 – Calo 2 – NOC – Petral – ISC Pertamina, di mana trader adalah trading house, MOC adalah Major Oil Company, Calo 1 dan Calo 2 merupakan trading company milik orang Indonesia berbadan hukum di Singapura.
Sedangkan NOC adalah National Oil Company, Pertamina Energy Trading Limited (Petral)/ Pertamina Energy Services Pte Ltd (PES) adalah anak atau cucu Pertamina dan ISC adalah unit pengadaan crude dan BBM di Pertamina.
Panjangnya supply chain tersebut terkonfirmasi juga berdasarkan laporan lembaga audit asal Australia, Kordha Mentha, pada 2015
Lembaga itu melansir di mana akibat panjangnya supply chain tersebut menjadi bukti adanya mark up pengadaan crude dan BBM yang nilainya antara USD 1 hingga USD 2, yang kemudian menjadi alasan bagi pemerintah untuk membekukan Petral,
Kordha Mentha ditunjuk Pertamina untuk melakukan audit investigasi kepada Petral.
Setelah Petral dibekukan, Pertamina dengan serius bebenah diri sehingga supply chain sangat singkat yakni; Trader – MOC – NOC – ISC Pertamina, dan tidak ada lagi calo terlibat.
Bahkan NOC juga tidak lagi menjadi perantara melainkan peserta tender seperti trader dan MOC, artinya bahwa mark up sudah bisa di eleminir dan akan sangat sulit melakukan mark up lagi, apalagi proses tendernya akuntabel.
Adanya bukti mark up di Petral, bukan saja mengenai panjangnya supply chain tapi juga formulanya.
Contohnya adalah RON 88 alias bensin premium, ketika tender masih di Petral, formulanya adalah MOPS 92 – USD 0,5, karena tidak ada publikasi MOPS dari RON 88 maka digunakan publikasi RON 92 dengan diskon hanya USD 0,5 saja.
Tapi setelah Petral dibekukan lalu tender dilakukan di ISC Pertamina maka formulanya menjadi MOPS 92 – USD 2,5, berarti diskon atau potongan harganya justru jauh lebih banyak!
Lalu, kenapa impor crude dan BBM terus meningkat? Sangat sederhana! Karena penjualan kendaraan dalam negeri terus digenjot, sehingga konsumsi BBM semakin meningkat, sedangkan produksi crude domestik tidak pernah bertambah, bahkan melorot sehingga hanya mampu berkontribusi setengahnya saja dari kebutuhan nasional yakni 1,5 juta barel per hari.
Alasan pemerintah bahwa mafia migas yang menjadi penyebab naiknya impor minyak adalah alasan yang tidak tepat, karena seharusnya pemerintah kreatif untuk segera menghadirkan BBM alternatif bagi rakyat Indonesia.
Selain itu, jika pemerintah menginginkan agar defisit neraca perdagangan yang diakibatkan oleh import BBM yang sangat menyedot devisa, maka sebaiknya pemerintah melakukan penjajagan untuk swap atau barter minyak impor dengan batubara domestik.
Pertamina sudah terbiasa melakukan swap antara minyak dengan produk minyak, tapi walaupun swap antara minyak dengan barubara belum pernah dilakukan, apa salahnya untuk dijajagi juga!
Oleh: Inas N Zubir