Eksplorasi.id – Dunia pertambangan selama ini sulit melepaskan diri dari anggapan umum pasti menyumbang polusi (pencemaran) sehingga mengganggu dan bahkan pada tataran berdampak merusak lingkungan.
Seorang direktur eksekutif sebuah pertambangan dalam diskusi-diskusi internal tidak menampik anggapan dimaksud. “Dunia tambang memang ada dampak polutannya. Namun, selalu ada upaya untuk meminimalisasi dampak sesuai aturan standar lingkungan yang ditetapkan pemerintah dan negara,” katanya.
Secara umum, dalam berbagai rujukan, polutan dipahami sebagai bahan/benda/zat yang bisa menyebabkan pencemaran, baik secara langsung maupun tidak langsung, dan berdampak di udara, tanah, air dan lainnya.
Sedangkan secara sifat, di antaranya berwujud polutan kimiawi, yakni polutan yang berbentuk senyawa kimia baik senyawa sintetis maupun yang alami, yang karena konsentrasinya cukup tinggi sehingga dapat menimbulkan pencemaran, seperti gas CO, CO2, SO4, logam Pb (timbal), merkuri dan lainnya.
Dalam berbagai kasus, tidak sedikit contoh terjadinya konflik antara perusahaan tambang dengan masyarakat akibat dampak pencemaran itu. Namun, dari dunia usaha pertambangan ini, ada upaya-upaya untuk memulai ‘membuka diri’ atas praktik-praktik usaha mereka mengeksploitasi dan mengeksplorasi sumber daya alam dari dalam perut bumi itu agar prosesnya –termasuk dampak dan cara meminimalisasinya– diketahui masyarakat luas.
Salah satunya adalah PT Newmont Nusa Tenggara (PTNNT), di Kabupaten Sumbawa Barat, Provinsi Nusa Tenggara Barat, yang memproduksi emas dan tembaga.
Melalui laman resminya disebutkan PTNNT merupakan perusahaan patungan Indonesia yang sahamnya dimiliki oleh Nusa Tenggara Partnership (Newmont dan Sumitomo), PT Pukuafu Indah (Indonesia) dan PT Multi Daerah Bersaing. Newmont dan Sumitomo bertindak sebagai operator PTNNT.
Perusahaan itu menandatangani Kontrak Karya pada 1986 dengan Pemerintah RI untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi di dalam wilayah Kontrak Karya di Provinsi NTB. “Kami menemukan cebakan tembaga porfiri pada 1990, yang kemudian diberi nama ‘Batu Hijau’,” sebut laman itu.
Setelah melalui pengkajian teknis dan lingkungan selama enam tahun, pada 1996 Pemerintah Indonesia mensahkan dokumen Amdal untuk PTNNT dan pada 1997 pembangunan Proyek Batu Hijau resmi dimulai dengan total investasiUSD 1,8 miliar, dan selanjutnya mulai beroperasi secara penuh pada Maret 2000.
Dalam perkembangannya, pada 30 Juni 2016, PT Medco Energi Internasional mengumumkan telah mengakuisisi saham PTNNT sebesar 82,2 persen sebesar USD 2,6 miliar atau sekitar Rp 34 triliun.
Komunitas ‘Bootcamp’
Di antara ikhtiar membuka diri PTNNT kepada publik adalah menggagas apa yang disebut sebagai program ‘Sustainable Mining Bootcamp’. “Intinya, program ini adalah upaya kami di PTNNT melakukan transparansi pada dunia tambang kepada publik dengan mengundang masyarakat dari berbagai latar-belakang untuk hidup di area pertambangan seleluasa mungkin,” kata Specialist Media Relation PTNNT Arie Burhanuddin.
Dia menjelaskan, program itu bertujuan untuk memberikan pembelajaran kepada masyarakat umum mengenai kegiatan tambang dan tanggung jawab sosial perusahaan (Corporate Social Responsibility/CSR) yang dijalankan PTNNT secara transparan.
Peserta terpilih — yang diseleksi melalui tulisan dan wawancara — mendapatkan kesempatan untuk tinggal di site (area tambang) Batu Hijau selama sembilan hari hari.
Para bootcamper, sebutan peserta kegiatan itu, yang berasal dari aneka latar belakang dan daerah — termasuk dari Sumbawa Barat dan NTB sendiri, serta daerah lain di Indonesia — mulai mahasiswa, profesional, blogger, dosen, dan lainnya, selama kegiatan leluasa melihat secara langsung kegiatan tambang, pengolahan bijih mineral, berinteraksi secara langsung dengan pegawai PTNNT dan juga masyarakat di sekitar wilayah lingkar tambang.
Selama di area pertambangan, peserta melihat program pengembangan yang berdampak bagi masyarakat sekitar tambang melalui pembangunan ekonomi berkelanjutan.
Di samping itu, juga program pengembangan sumber daya manusia, seperti mengembangkan industri usaha kecil dan mikro (UMKM) dengan harapan ketika tambang ditutup dapat mandiri karena masyarakat sudah mempunyai usaha untuk dapat hidup layak. Selain itu, juga program yang tujuannya mengurangi dampak sosial yang bersifat negatif terhadap keberadaan tambang.
Hingga 2016 sejak program itu digagas pada 2012 telah dilaksanakan lima angkatan (batch), dan kini dibentuk ‘Komunitas Batu Hijau Bootcamp’, yang sebelumnya dikenal sebagai ‘Newmont Bootcamp’.
Kepala Departemen Komunikasi PTNNT Rubi W Purnomo menambahkan, program itu berhasil memenangkan penghargaan bergengsi internasional ‘IPRA Golden World Awards’ untuk kategori ‘Reputation & Brand Management Online- Inhouse’.
‘Dari Timur ke Barat’
Dalam rangka merayakan semangat Hari Kemerdekaan RI ke-71, Komunitas Batu Hijau Bootcamp berinisiatif mengadakan kegiatan sosial bertajuk ‘Dari Timur ke Barat’.
Melalui program ini, para alumni Batu Hijau Bootcamp melaksanakan perjalanan dengan jalur Sumbawa Barat-Surabaya-Yogyakarta-Jakarta. Di tiap titik, para peserta singgah dan melakukan kegiatan sosial bekerja sama dengan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) lokal di tiap-tiap kota.
Kegiatan dengan titik tumpu untuk menanamkan nilai-nilai pendidikan dan kepedulian kepada lingkungan hidup itu dimulai pada 23 Agustus dengan sesi pelatihan motivasi sukses di SMPN 1 Maluk, Sumbawa Barat, NTB.
Masih di Sumbawa Barat, para alumni bootcamper juga dibawa untuk melihat kegiatan di ‘Sentra Pemberdayaan Masyarakat Pengolahan Coconet dan Serabut Kelapa’ Binaan PT Ridho Bersama, yang membuat coconet yang berbahan baku sabut kelapa, yang digunakan PTNNT untuk mereklamasi area bekas tambang, di mana 90 persen pekerjanya adalah kaum perempuan.
Selajutnya, puluhan peserta beranjak ke anak-anak di kampung nelayan Kejawan Lor-Kenjeran, Surabaya, Jawa Timur, Kamis (24/8). Berkolaborasi dengan LSM Tunas Hijau dan dipandu pemuda pelopor di kampung nelayan itu, Ahmad, anak-anak nelayan itu mendapatkan motivasi untuk peduli lingkungan laut, di mana mereka tinggal.
Dua alumni komunitas itu dari Surabaya, yakni Rachma Shouma dan Amelthia Rahel, yang masih berstatus mahasiswi melakukan sosialisasi kebersihan lingkungan kepada 30 anak dengan menggunakan metode permainan, menggunakan boneka satwa. “Harapannya, anak-anak ini dapat menjadi agen perubahan dalam menjaga kebersihan lingkungan dan sekitarnya,” kata keduanya.
Ahmad pun mengamini bahwa perubahan itu lebih berpeluang dilakukan kepada anak-anak ketimbang orang-tua mereka. “Karena itu, kami senang mendapat kunjungan untuk berbagi ilmu ini, sehingga kampung kami bersih dan sehat,” katanya.
Kegiatan di Yogyakarta dilakukan di kawasan kaki Gunung Merapi. Di sini, komunitas melaksanakan kegiatan bersama Rumah Belajar Kreatif Kaki Gunung Merapi (Rumbe-KAGEM). Mereka mendorong minat baca anak di kawasan kaki gunung tersebut.
Perjalanan kemudian berakhir di Ibu Kota Jakarta, di mana komunitas mengadakan pelatihan dasar-dasar ilmu komputer bagi anak-anak Panti Asuhan Yayasan Benih Kebajikan Nusantara Al Hasyim.
Rubi W Purnomo menyatakan, dengan mengusung misi pendidikan dan lingkungan hidup selama perjalanan, pihaknya mendapatkan kehormatan komunitas dapat terlibat langsung dalam kegiatan sosial-kemanusiaan itu.
“Kami menyaksikan bagaimana hampir 200 adik-adik di keempat lokasi terinspirasi untuk berani bermimpi, berani berpendapat, serta berani berbuat,” katanya.
Dia menegaskan, pihaknya terus berkomitmen untuk menyelenggarakan kegiatan tambang yang transparan. Program Batu Hijau Bootcamp dirancang secara utuh yang menyentuh aspek kognitif, konatif, dan afektif dari para peserta.
“Karena itu, kami bangga dengan semangat dan tekad para anggota komunitas untuk terus berbagi ilmu dan pengalaman kepada masyarakat di sekitar mereka,” katanya.
Oleh : Andi Jauhari
Sumber : Antara