Eksplorasi.id – Kementerian ESDM didesak memimpin proses audit investigasi terkait dijualnya secara murah minyak bagian negara dari Lapangan Banyu Urip di Blok Cepu ke PT Tri Wahana Universal (TWU).
Sekretaris Jenderal Rumah Gerakan (RG) 98 Sayed Junaidi Rizaldi mengatakan, audit investigasi yang dipimpin Kementerian ESDM juga mesti melibatkan Kementerian Keuangan dan KPK.
“Audit mesti dipimpin langsung oleh Menteri ESDM Ignasius Jonan, jangan melibatkan Dirjen Migas I Gusti Nyoman Wiratmaja Puja. Sebab dia (dirjen Migas) ketika masih sebagai Plt juga sempat mengeluarkan kebijakan yang blunder terkait persoalan minyak tersebut,” kata Sayed kepada Eksplorasi.id di Jakarta, Jumat (17/2).
Sayed menjelaskan, sedikitnya negara mengalami kerugian sebanyak tiga kali ketika menjual minyak bagian negara le PT TWU. Dia mencontohkan, jika minyak tersebut dijual di Floating Storage and Offloading (FSO) Gagak Rimang maka akan didapat harga ICP plus alpha, di mana alpha adalah premi yang ditawarkan oleh buyer saat tender penjualan minyak. Dalam hal ini menjadi ICP plus USD 2.
Namun, terang Sayed, jika minyak tersebut dijual di plant gate maka negara tidak akan memeroleh alpha tersebut. Bahkan, dalam kasus ini malah dihargai di bawah ICP, yakni ICP Arjuna minus USD 4,76 per barel.
“PT TWU membeli minyak bagian negara di bawah ICP. Ironisnya, untuk memenuhi kebutuhan kilang, negara melalui PT Pertamina (Persero) membeli minyak lain seharga ICP plus USD 2. Selisih harganya menjadi USD 2 plus USD 4,76 menjadi USD 6,76 per barel. Apakah ini selisih harga ini bukan kerugian negara?” tanya Sayed.
Kemudian, imbuh Sayed, ExxonMobil Cepu Limited (EMCL) memiiki pipa untuk mengangkut minyak dengan kapasitas penuh 165 ribu barel per hari ke FSO Gagak Rimang.
Tapi, faktanya sebagian kapasitas pipa tersebut menjadi idle. “Diambilnya crude di plant gate, maka pipa yang di rancang untuk mengangkut minyak sebanyak 165 ribu bph dari Central Production Facility (CPF) ke Tuban menjadi under capacity alias over design,” ujar dia.
Di sisi lain, negara seolah menyewa ‘pipa’ lain dengan toll fee seharga USD 4,76 per barel untuk mengangkut minyak tersebut ke pembeli, dalam hal ini TWU. “Apakah ini juga bukan kerugian negara?” jelas dia.
Penjelasan Sayed, setidaknya dalam kasus ini negara mengalami rugi tiga kali. Pertama, dari kehilangan margin USD 2 per barel. Kedua, negara harus membayar toll fee ‘pipa’ lain sebesar USD 4,76 per barel. Ketiga, negara kehilangan kesempatan menggunakan pipanya sendiri.
Kesalahan prosedur lain yang dilakukan, ungkap Sayed, PT TWU jelas-jelas tidak membeli lewat tender minyak bagian negara tersebut. Kemudian, harga beli rata-rata ICP minus transportation cost (toll fee pipa) dari plant gate ke Tuban, di mana penetapan diskon terkait toll fee ini tidak ada patokan yang jelas.
Kesalahan lainnya, jelas Sayed, semula kontrak awal ke TWU awalnya adalah hanya untuk minyak yang berasal dari Early Production Facility (EPF), karena saat itu belum dibangun pipa dari Banyu Urip ke Tuban.
“Tapi kemudian kontrak tersebut di extend oleh pimpinan SKK Migas berlanjut untuk minyak dari CPF. Kembali ini dilakukan tanpa tender dan tanpa koreksi harga,” ungkap dia.
Sayed berpendapat, semestinya hasil produksi dari Banyu Urip diprioritaskan untuk kilang milik Pertamina, bukan PT TWU, dan juga dialirkan ke FSO Cinta Natomas yang merupakan milik Pertamina. Alasannya, Pertamina memiliki komposisi saham yang sama besar dengan Exxon di Blok Cepu.
“Perlu diketahui juga, dalam rencana pengembangan (Plan of Development/ POD) Blok Cepu tidak ada rencana pembangunan kilang mini PT TWU. Semestinya PT TWU harus melakukan pembelian di FSO Gagak Rimang atau FSO Cinta Natomas,” katanya.
Dia menegaskan, sebagai ‘penumpang gelap’, seharusnta PT TWU ikut aturan harga ICP Arjuna di FSO Gagak Rimang. “Kalau PT TWU boleh beli minyak dengan ‘harga diskon’, itu menandakan adanya intervensi kekuasaaan yang merugikan negara,” ujar dia.
Reporter : Samsul
Comments 1