Eksplorasi.id – Jauh hari sebelum Laskar Pelangi menjadi fenomenal dalam khazanah kesusastraan dan perfilman nasional, Pulau Belitung sudah dikenal secara meluas oleh dunia Barat, khususnnya Belanda, karena kaya akan kandungan timah dan lada.
Bahkan pulau seluas 4.833 kilometer persegi yang diapit Selat Gaspar dan Selat Karimata itu pernah mendapat julukan “Karibia dari Timur” karena melimpahnya kandungan timah putihnya.
Pantai dan pulau-pulau kecil di sekitarnya yang berhiaskan pasir putih dan batu-batuan granit tidak hanya indah dipandang, melainkan juga menandakan kekayaan batu kuarsa sebagai bahan dasar pembuat kaca.
Terumbu karang yang masih alami tidak saja biota laut menjadi lestari, melainkan juga membuat para penggemar olahraga selam dan snorkeling betah berlama-lama di lautan dangkal nan jernih.
Belum lagi harta peninggalan para saudagar masa lampau yang terpendam di dasar laut melengkapi limpahan anugerah bagi bekas koloni Britania Raya sebelum diserahkan kepada Belanda itu.
Pada saat tambang timah berkurang seiring dengan meningkatnya alih fungsi lahan yang juga berdampak pada penurunan produktivitas tanaman lada, kekayaan Belitung belumlah berkurang.
Justeru pulau yang sejak 13 tahun silam terbagi menjadi Kabupaten Belitung dan Kabupaten Belitung Timur itu menjadi makin memesona, terutama bagi orang-orang yang doyan pelesir.
Suasananya yang asri dan jauh dari kebisingan serta titik lokasi yang menawan menjadikan Belitung bukan saja destinasi baru pariwisata Nusantara. Apalagi waktu tempuhnya yang hanya kurang dari satu jam penerbangan dari Jakarta memosisikan Belitung sebagai “ancaman” serius bagi Bali yang sudah kelewat sumpek akibat luapan para pelancong.
Oleh karena itu, tidak mengherankan jika dalam beberapa kesempatan pameran pariwisata di sejumlah negara, Kementerian Pariwisata gencar mempromosikan Belitung, baik objek wisatanya maupun budayanya.
Dunia sudah mengenal Bali dan Indonesia tidak hanya Bali, demikian pernyataan seorang pejabat Kemenpar dalam satu lokakarya tentang destinasi pariwisata nasional di Tanjung Pandan, Kabupaten Belitung, menjelang akhir tahun lalu.
Kabupaten Belitung dan Kabupaten Belitung Timur tidak saja berebut “pelangi” karena yang di wilayah barat menjuluki dirinya dengan “Negeri Laskar Pelangi” dan di timur dengan “Negeri Sejuta Pelangi”, namun juga berlomba-lomba menggaet wisatawan untuk berkunjung.
Tak Adil Guna memeratakan jatah “kue” pariwisata itu pemerintah pusat gencar membangun sarana pendukung, terutama kualitas jalur transportasi yang dilalui gelombang para pelancong yang biasanya melakukan perjalanan dari barat (Belitung) dan timur (Belitung Timur).
Sayangnya, peningkatan kualitas infrastruktur tersebut dirasa kurang adil bagi Belitung Timur. Kabupaten hasil pemekaran 13 tahun silam memiliki sejumlah objek wisata potensial di pesisir utara dan pesisir selatan.
Sementara program pembangunan jalan oleh pemerintah pusat hanya dilakukan di jalur tengah. Jalur pesisir utara dan pesisir selatan belum tersentuh program peningkatan kualitas jalan sehingga pantai-pantai di wilayah utara dan selatan Kabupaten Belitung Timur lengang.
Bahkan, Pantai Punai di selatan yang ditetapkan sebagai Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN) oleh pemerintah pusat lengang, nyaris seperti kuburan. Jauh berbeda dengan Pantai Tanjung Kelayang di Kabupaten Belitung yang juga KSPN selalu ramai oleh wisatawan yang hendak mengelilingi pulau-pulau sekitar.
Demikian pula dengan danau-danau di pesisir utara yang dilengkapi tempat peristirahatan tidak ubahnya saksi bisu atas kejayaan Belitung di masa lalu. Danau-danau, seperti Mendaya dan Open Pit, merupakan bekas galian tambang timah yang oleh masyarakat setempat disebut dengan “kolong”.
Pemerintah Kabupaten Belitung Timur yang sudah menyerahkan objek wisata tersebut kepada warga sekitar belum merasakan adanya dampak signifikan dari pola pemberdayaan tersebut, apalagi tanpa dukungan infrastruktur berupa akses jalan dan kualitas sumber daya manusia yang memadai sehingga objek wisata tersebut tidak hanya pepesan kosong.
Mungkin peningkatan kualitas jalan di jalur tengah yang menghubungkan Tanjung Pandan (Ibu Kota Kabupaten Belitung) dan Manggar (Ibu Kota Kabupaten Belitung Timur) dilatarbelakangi oleh gelombang wisatawan menuju replika SD Muhammadiyah dan Museum Kata di Gantung sebagai ikon Laskar Pelangi.
Namun jika argumentasi tersebut benar adanya, maka pembangunan pariwisata Belitung tidak ubahnya seperti Bali yang hanya terkonsentrasi di wilayah selatan sehingga mengakibatkan kejenuhan dan penumpukan arus wisatawan di sekitar Tanah Lot, Kuta, Jimbaran, Tanjung Benoa, dan Nusa Dua.
Oleh sebab itu pula wisatawan asing kelas menengah yang telanjur datang ke Bali berubah pikiran dengan menyeberang ke Lombok untuk mencari ketenangan. Apalagi setiap hari dari Sanur banyak terdapat kapal-kapal pesiar kecil (yacht) yang berlayar menuju pulau-pulau kecil di Lombok, seperti Gili Terawangan, Gili Mano, dan Gili Air.
Bagi Kabupaten Belitung Timur, ketidakadilan yang dirasakannya bukan tanpa alasan. Sepanjang 2015 jumlah kunjungan wisatawan ke Kabupaten Belitung Timur tercatat sebanyak 167.680 orang yang terdiri dari 165.630 wisatawan domestik dan 2.050 wisatawan mancanegara.
Bandingkan dengan “saudara tuanya”, Kabupaten Belitung, telah didatangi 251.440 orang yang terdiri dari 247.053 wisatawan domestik dan 4.387 wisatawan mancanegara sepanjang tahun lalu.
Kepala Bidang Pemasaran Wisata, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Belitung, Johansyah, di Manggar, Rabu (18/5) lalu mengatakan siap tidak siap, mereka harus menerima kenyataan ini dan tentu saja menjadi pelecut semangat untuk terus bersaing mendatangkan wisatawan.
Eksplorasi | Aditya | Antara