Eksplorasi.id – Sudah hampir dua tahun Nicke Widyawati duduk sebagai direktur utama (dirut) PT Pertamina (Persero). Dia resmi diangkat berdasarkan Surat Keputusan Menteri BUMN Nomor : SK – 97/MBU/ 04/2018, tanggal 20 April 2018.
Sebelum menjabat sebagai dirut Pertamina, Nicke dipercaya sebagai direktur SDM Pertamina dan pernah menjabat sebagai direktur Pengadaan Strategis 1 PT PLN (Persero).
Perempuan lulusan S1 Teknik Industri ITB 1991 ini kariernya bisa dibilang berjalan mulus, meskipun banyak kalangan menilai minim prestasi.
Wajar publik menilai hal itu. Bisa dikatakan setelah nyaris dua tahun menjadi Pertamina 1, tidak ada gebrakan fenomenal yang dilakukan perempuan kelahiran Tasikmalaya, Jawa Barat, 25 Desember 1967, itu.
‘Ketidakmumpuni’ Nicke menakhodai jajaran direksi Pertamina semakin terlihat jelas ketika Basuki Tjahaja Purnama ditunjuk sebagai komisaris utama (komut) Pertamina.
Basuki Tjahaja duduk sebagai komut sejak 22 November 2019 berdasarkan Keputusan Menteri BUMN No.SK-282/MBU/11/2019.
Kiprah mantan gubernur DKI Jakarta (2014) itu di Pertamina terus melesat. Bahkan, sebagian publik lalu menyindir dengan istilah ‘komut rasa dirut’.
Awalnya, ketika Basuki Tjahaja masuk ke Pertamina, publik berharap akan terjadi transparansi di segala lini bisnis Pertamina. Mulai dari impor BBM, tender kapal, pembangunan kilang, dan sebagainya.
Jika itu yang menjadi harapan publik, maka bisa juga publik menilai bahwa selama ini Pertamina di bawah Nicke telah gagal memenuhi harapan masyarakat tersebut. Tapi anehnya, hingga kini jabatan Nicke tetap dipertahankan. Ada apa sebenarnya?
Basuki Tjahaja bahkan kini bisa dikatakan sebagai ‘pemenang panggung’ pertunjukan yang sedang dipentaskan, dengan Pertamina sebagai tuan rumahnya.
Sedikit-sedikit, apapun persoalannya, Basuki Tjahaja yang muncul ke publik mewakili Pertamina. Terakhir, soal pengumuman pemberian diskon pembelian BBM bagi supir ojek online (ojol).
Publik kembali bertanya, di mana peran direksi Pertamina yang lain? Bagaimana Nicke sebagai nakhoda melihat itu semua. Kenapa dia diam saja ketika kewenangannya dilangkahi? Apakah itu menandakan ketidakmampuannya?
Melihat kondisi Pertamina saat ini, sudah semestinya Menteri BUMN Erick Thohir segera bersikap. Jika memang mayoritas direksi, terutama dirut, tidak mampu mengelola Pertamina, segera copot dan ganti yang baru.
Jangan seolah kemudian Menteri Erick membiarkan ‘tontonan gratis’ yang sangat memalukan tersebut, apalagi terhadap BUMN kebanggaan republik ini.
Jika ternyata Menteri Erick juga terkesan membiarkan tontonan tersebut, tanpa mengambil tindakan secepatnya, maka bisa dikatakan setali tiga uang. Atau bisa juga seperti istilah yang dipakai salah satu ustadz terkenal, yakni beleng-beleng.
Di era sebelum-sebelum Nicke, dahulu ketika zaman harga minyak mentah (crude) hancur, Pertamina masih bisa untung bahkan mampu menyalib perusahaan asal Malaysia, Petroliam Nasional Berhad (Petronas), melalui bisnis hilir
Di bawah kepemimpinan Nicke, apa yang dia dan bawahannya lakukan? Tanpa kreativitas dan inovasi, yang saya yakin mereka tidak miliki hingga kini, mustahil Pertamina bisa move on.
Semestinya, Nicke dan jajarannya bisa melakukan kreasi seperti para pendahulunya. Sebut saja soal formulasi harga elpiji 3 kg dan harga BBM.
Sehingga meskipun Pertamina menjalankan bisnis subsidi namun tetap bisa untung, karena diganti oleh pemerintah sesuai harga. Bandingkan sebelumnya di mana bisnis elpiji rugi puluhan triliun.
Belum lagi bagaimana pendahulunya sukses mengambilalih kontrak pembelian BBM ke Grup Adaro dari Shell. Ada lagi bisnis aviasi yang bisa menyumbangkan keuntungan di atas Rp 2 triliun. Sama halnya dengan pelumas.
Inovasi lainnya dengan labelisasi halal dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan sertifikat sehat dari Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia alias Food and Agriculture Organization (FAO) untuk pelumas kategori food grade (FG).
Dengan kondisi demikian, maka setiap Industri makanan yang mau sertifikasi halal, maka pelumasnya harus yang sudah sertifikasi halal juga, dan itu hanya pelumas milik Pertamina.
Era sebelumnya, banyak kreativitas dan inovasi di tengah badai yang menghantam perusahaan migas dunia dengan harga crude yang sangat rendah pada medio 2015 hingga 2016.
Berbagai kreativitas dan inovasi tersebut antara lain diluncurkannya produk PertaLite, Bright Gas 5,5 kg, dan DexLite.
Kita tahu bagaimana suksesnya PertaLite yang berhasil menggeser pemakai Premium beralih ke PertaLite, sehingga selain menaikkan keuntungan Pertamina, juga menurunkan subsidi BBM, di samping menjaga lingkungan lebih baik dengan emisi yang lebih rendah.
Lalu bandingkan dengan era Nicke. Apa yang sudah dilakukan selain hanya meneruskan tanpa ada inovasi dan kreativitas baru. Jika hanya itu yang bisa dilakukan, sekelas manager di Pertamina pun mampu.
Jika ada istilah untuk Basuki Tjahaja adalah komut rasa dirut, maka bisa jadi ada istilah yang cocok juga bagi Nicke Widyawati, yakni dirut rasa manager.
Jika demikian, apakah ditaruhnya Basuki Tjahaja di Pertamina ‘memang sengaja’ untuk mempermalukan jajaran direksi di bawah kendali Nicke yang memang diketahui ‘tidak bisa bekerja?
Oleh : Heriyono Nayottama*)
*) Pemimpin Redaksi Eksplorasi.id