Eksplorasi.id – Mahalnya harga gas di Tanah Air acap kali dikaitkan dengan trader gas modal dengkul, alias trader yang tidak memiliki jaringan infrastruktur pipa gas.
Uniknya, ada trader gas yang hanya membangun pipa gas sepanjang 200 meter namun telah mengklaim membangun infrastruktur gas, dan ogah dicap bagian dari trader modal dengkul.
“Tidak semua trader hanya bermodal dengkul dalam mengambil keuntungan dari bisnis gas. Kami punya jaringan pipa gas meskipun hanya 200 meter,” kata Bukhari, direktur utama PT Gresik Migas dalam ‘Diskusi Energi Kita’ di Hall Dewan Pers, Jakarta, Minggu (18/9).
Gresik Migas adalah BUMD yang sahamnya dimiliki Pemerintah Kabupaten Gresik. Bukhari menjelaskan, pipa tersebut untuk menyalurkan gas ketiga industri di Gresik dari West Madura Offshore (WMO) milik PT Pertamina (Persero).
“Pipa itu mendarat di Gresik kemudian pasarnya juga ada di Gresik. Pipa paling 200 meter doang ditambah bangun stasiun metric (stasiun pengukuran),” jelas dia.
Menurut Bukhari, Gresik Migas mengambil margin keuntungan hanya USD 0,5 per MMBtu dengan harga beli dari Pertamina sebesar USD 7,99 per MMBtu.
“Kami ambil untung sedikit, cuma USD 0,5 per MMBtu setelah kami membelinya seharga USD 7,99 per MMBtu dari WMO. Kami langsung jual ke end user dengan harga USD 8,4 per MMBtu,” ungkap dia.
Bukhari menegaskan, meskipun hanya membangun pipa sepanjang 200 meter, namun Gresik Migas harus menyewa lagi pipa transmisi atau pipa utama yang mengalirkan gas dari sumur pengeboran ke end user.
“Kami saat itu investasi sekitar USD 2 juta hingga USD 3 juta. Kami diuntungkan secara geografis, karena KKKS itu ada di depan kami tanpa ada pipa transmisi. Kami langsung ada di depan situ. Industri yang kami layani kecil, paling cuma tiga,” ujar dia.
Di singgung soal kondisi tersebut (trader) menyebabkan adanya pengeluaran ganda yang mesti ditanggung end user, karena adanya biaya penggunaan pipa transmisi baru pipa distribusi milik trader seperti milik Gresik Migas, Bukhari membantah tudingan tersebut.
Versi Bukhari, trader gas seperi Gresik Migas bukan bisnis tanpa risiko. Sebab, dia harus membeli gas dalam jumlah banyak kepada produsen.
“Trader harus menalangi biaya gas yang belakangan ini sepi pembeli. Risiko dengan membeli gas dalam jumlah banyak harus kami ambil lalu kami jual eceran,” ungkap dia.
Bukhari menerangkan, di sanalah fungsi niaga terjadi. Dia juga mengatakan bahwa pihak industri enggan membeli langsung dari hulu dikarenakan sudah mahalnya harga gas di hulu.
Dia pun kini tengah coba melakukan negosiasi dengan pihak produsen agar mau menurunkan harga gas di bawah USD 6 per MMBtu. Sebab, sejumlah industri di wilayah Gresik, Jawa Timur ingin harga gas saat ini turun, karena harga gasnya sudah terlalu tinggi.
“Kami minta dengan hulu, hulu jangan segitu deh (harganya). Bagaimana bisa jual ke saya USD 7,99 per MMBtu, sedangkan industri minta di bawah USD 6 per MMBtu,” ujarnya.
Reporter : Ponco Sulaksono