Eksplorasi.id – Keberlangsungan bisnis efisiensi dan konservasi energi, atau yang biasa disebut ESCo, masih menemui sejumlah hambatan. Kendala yang paling dirasakan berada pada sektor finansial karena belum ada aturan khusus terkait penetapan insentif suku bunga terhadap ESCo.
Direktur Utama PT Energy Management Indonesia (EMI), Aris Yunanto mengatakan, investasi ESCo sering mendapat suku bunga komersial biasa. ESCo dianggap sebagai kegiatan komersial pada umumnya.
“Mereka (Perbankan) belum mengklasifikasikan ESCo sebagai perusahaan yang berbeda,” kata Aris usai memberikan paparan dalam Sarasehan Media 2016 Kementerian Energy dan Sumber Daya Mineral di Hotel Neo Plus Green Savana, Bogor, Jawa Barat.
Contoh paling sederhana, kata Aris, terlihat pada pemberian insentif suku bunga kredit barang elektronik hemat energi. Kendati harganya lebih tinggi dibanding barang elektronik biasa, tidak ada perbedaan penerapan insentif suku bunga.
“Harganya pasti lebih mahal, tapi kita tidak diberikan tingkat suku bunga khusus kalau belanja itu. Padahal semestinya bisa lebih murah, dibandingkan belanja barang biasa,” kata dia.
Selain kendala pada insentif suku bunga, ESCo juga terkendala karena belum adanya skema asuransi yang diizinkan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Penyedia jasa ESCo juga belum memiliki kriteria standar dan peraturan pelaksanaan resmi.
Sementara itu berbicara kapitalisasi pasar, bisnis konservasi dan efisiensi memiliki potensi yang cukup tinggi. Dari hasil survey kasar PT EMI, kapitalisasi pasar di berbagai sektor mencapai Rp160 triliun.
Di sektor transportasi kapitalisasi pasar mencapai Rp8,5 triliun melalui penjualan aditif bahan bakar, minyak pelumas dan Converter Kit dari BBM ke Gas. Kemudian di sektor bangunan, komersial, publik dan residan kapitalisasi pasar mencapai Rp43 triliun melalui penjualan jasa dan produk rooftop solar PV, penggantian AC dan lampu, smart building/home system dan smart PJU.
Nilai kapitalisasi pasar di sektor pertanian dan pertambangan mencapai Rp2,5 triliun. Yang paling tinggi terlihat pada sektor industri manufaktur yang mencapai Rp107 triliun dengan item penjualan produk dan jasa aditif bahan bakar, waste heat recovery, retrofiting, dan Rooftop Solar PV.
Eksplorasi | Aditya | Metrotv