Eksplorasi.id.Industri minyak dan gas bumi memang sedang lesu darah. Ini tergambar daritarget produksi minyak yang bisa dijual atawa lifting di Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan 2016 yang menyusut dari prediksi awal.
Semula pemerintah menargetkan lifting minyak bumi sebanyak 830.000 barel per hari, dipangkas menjadi 820.000 bph. Sementara lifting gas bumi tetap 1,15 juta setara minyak sehari.
Perubahan target lifting ini sejalan dengan menurunya perkiraan produksi minyak oleh kontraktor kontrak kerja sama (KKKS). Ini berarti kegiatan-kegiatan industri migas akan berkurang signifikan.
Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Amien Sunaryadi mengakui penurunan produksi ini terlihat dari revisi program kerja dan anggaran perusahaan migas.
Hanya saja, Amien tidak menyebutkan di mana saja perubahan signifikan di revisi kerja dan anggaran KKKS, “Masih ada kegiatan,” kata Amien Senin (27/6).
Berdasarkan catatan SKK Migas, tahun ini diproyeksi produksi minyak mencapai 825.000 bph atau 100,6% dari APBN-P 2016.
Sementara itu, realisasi lifting minyak mulai dari 1 Januari hingga 18 Juni 2016 rata-rata baru mencapai 785.300 bph. Adapun produksi minyak pada 18 Juni 2016 sebesar 833.300 bph.
Hanya saja SKK Migas belum memberikan perincian KKKS mana saja yang mencatatkan penurunan produksi mapun peningkatan produksi. Dalam catatan KONTAN, kenaikan produksi hanya terjadi di Blok Cepu, lantaran pencapaian target tahun lalu sebesar 185.000 bph yang baru realisasi tahun ini.
Direktur Indonesian Petroleum Association (IPA) Sammy Hamzah mengakui, revisi rencana kerja dan anggaran perusahaan migas menyebabkan berkurangnya kegiatan bisnis migas tahun ini.
“Sebenarnya situasi industri migas memang tidak berubah dari beberapa bulan lalu sejak harga minyak turun,” kata Sammy kepada KONTAN, (29/6).
Dia menyebut, perusahaan migas mengurangi kegiatan karena mereka menunggu harga minyak naik.
“Sampai sekarang kita tidak tahu apakah harga minyak stabil di US$ 47 – US$ 48 per barel, turun lagi atau naik,” katanya.
Dia menilai, para perusahaan migas akan kembali menggenjot kegiatan migas jika harga minyak mentah sudah mulai naik. Ia menyebut perusahaan minyak akan nyaman jika harga minyak stabil di level US$ 60 per barel.
“Kalau benar stabil di US$ 60 per barel mungkin para investor baru melakukan perubahan rencana bisnis,” katanya.
Sementara Dwi Soetjipto Direktur Utama Pertamina juga membenarkan bahwa kegiatan bisnis di anak usaha pertamina di sektor hulu yakni Pertamina EP memang menurun karena mayoritas sumur yang dikelola sudah tua.
“Pada 2016 kami ada masalah rig terbakar di Cirebon, itu kami review semua jadi di awal tahun rig-rig yang kami izinkan operasi sedikit makanya produksi di awal tahun menurun,” kata Dwi.
Eksplorasi | Dian | Source