Eksplorasi.id – Konsep pengembangan Blok Masela dengan gagasan CNG dinilai oleh Direktur Eksekutif Center of Energy and Resources Indonesia (CERI) Yusri Usman sangat mentah. Pasalnya, gagasan itu belum dikaji secara mendalam, dan bisa jadi kalau secara detail hitungannya bisa jauh lebih mahal dari konsep OLNG dan FLNG.
“Ide CNG yang dilontarkan Pak Salis Aprilian (presdir PT Badak NGL) tidak memberikan informasi detail berapa harga investasi FCNG dan harga kapal CNG dengan variasi kapasitasnya dan investasi dekompresi di pelabuhan kilang LNG Bontang,” kata Yusri kepada Eksplorasi.id di Jakarta, Senin (28/3).
Yusri menerangkan, jika mengacu pada harga FCNG yang sudah dipesan oleh PT PLN (Persero) pada 2014, yang merupakan hasil kerja sama dengan tiga konsorsium, yakni Shijiazuang Enrics Gas Equipment Co Ltd, PT Environment Tech Internasional, dan Ocean Engineering Design dan Research Institute of CIMC, bahwa kapal CNG dengan kapasitas 20 MMscf sudah menelan biaya USD 140 juta per unitnya.
“Kalau harus memesan 60 kapal CNG, maka investasinya jadi 60 kapal dikali USD 140 juta dan hasilnya USD 8,4 miliar. Ini masuk ke dalam komponen belanja modal (capital expenditure/ capex). Kalau versi hitungan Pak Salis paling tidak dibutuhkan 24 kapal CNG. Jika biaya biaya perawatan kapal USD 5 juta per unit setiap tahunnya, maka per tahun perlu biaya operasional (operational expenditure/ opex) sekitar USD 120 juta. Ini untuk mengangkut produksi gas setiap hari 1.200 MMcsfd dari Masela ke Bontang, dan itu di luar biaya operasi mondar-mandir kapalnya,” jelas dia.
Dia menambahkan, jika menggunakan kapal CNG dengan kapasitas 50 MMscf diperlukan lebih dari 24 kapal, karena rencana produksi Masela adalah 1.200-1.300 MMscfd. “Jadi ada sekitar 24 kapal yang harus loading setiap hari dan ada kapal-kapal yang dalam perjalanan ke Bontang dan ada kapal-kapal CNG yang sedang kembali ke FCNG untuk loading lagi,” ujarnya.
Kemudian, lanjut Yusri, usulan Salis soal pengembangan lapangan gas Masela dengan konsep FCNG dan menjual gas di kepala sumur (well head) dengan sistem FOB (free on board) bagi pembeli gas, dan Inpex dan Shell hanya berkewajiban mengeksploitasi gas dari reservoir ke FPCNG, ini seperti konsep yang sudah di aplikasikan di Kilang Donggi Senoro, yaitu pemisahan kegiatan hulu dengan hilirnya.
“Komentar Pak Salis soal konsep CNG jauh lebih murah dibandingkan dari konsep OLNG (darat) dan FLNG (laut), di mana investasi awalnya katanya hanya cukup USD 9 miliar, dengan menggunakan fasilitas LNG Badak dengan hanya membangun 3 FCNG di Blok Masela plus dukungan 24 kapal CNG, dengan asumsi masing masing kapal CNG berkapasitas mulai 50 MMscf hingga 531 MMscf untuk membawa produksi gas Blok Masela setiap hari sejumlah 1.200 MMscfd, perlu dikaji lebih mendalam,” terang Yusri.
Komentar Yusri, suatu hal yang harus diingat dan dipedomani oleh seluruh stakeholder migas bahwa prinsip utama dalam menghitung harga jual gas dalam bentuk berupa LNG atau LPG dan CNG adalah berdasarkan harga fasilitas/ infrastruktur yang dibangun, ditambah sunk cost dan biaya operasinya.
“Nah kalau harga fasilitas tersebut saja sudah boros diawal, maka sudah pasti harga jual gas jadi tinggi. Akan menjadi pertanyaan apakah harga jualnya bisa bersaing dengan harga gas yang katanya pada 2025 akan banjir keluar produksi gasnya dari beberapa negara yang harga jual gasnya relatif murah karena lebih efisien dalam membangun infrastruktur produksinya. Seperti produksi gas dari Australia, Qatar, Angola, Mozambik dan Yaman dll,” kata dia.
Yusri mencontohkan, kita sudah punya pengalaman yang menjadi pelajaran dan harus menghentikan kegaduhan. Misalnya gaduh antara PT Pertamina (Persero) dengan PT PGN Tbk (Persero) soal harga jual gas dari terminal regasifikasi Arun yang mencapai USD 14 MMBtu untuk kalangan industri di Sumatera Utara pada November 2015.
“Ini bisa menjadi pelajaran yang sangat berharga bagi kita semua, bahwa bagaimana industri kita bisa bersaing di era perdagangan bebas dengan negara lain jikalau harga beli gasnya begitu mahal,” terangnya.
Konsep Salis, imbuh Yusri, semakin tidak ekonomis dengan mengoperasikan 3 FCNG. Ini menjadi semakin besar biaya opex dan lebih banyak tug boat diperlukan untuk membantu tandem offloading atau alongside kapal CNG ke FCNG. “Semakin besar kapal CNG, harganya juga akan lebih mahal. Di Bontang pun harus dibangun dermaga CNG dan fasilitas dekompresi,” jelasnya.
Yusri berpendapat, harga gas ditentukan oleh pasar, namun investasi pabrik gas yang sudah mahal diawal menjadi tidak ekonomis lagi, karena tidak dapat menjual gas dengan harga di pasar. Kemudian, bahwa kepala-kepala sumur di Blok Masela berada di dasar laut dengan ke dalaman 600-800 meter, sehingga biaya infield pipeline sebesar USD 1,4 miliar dan 3 unit FCNG yang harganya belum di estimasi adalah biaya yang sangat besar sebagai biaya yang akan di cost recovery.
“Perlu dipahami, Inpex Masela Ltd belum melakukan pekerjaan front-end engineering and design (FEED), baik di darat maupun di laut. Karena presiden telah mengambil keputusan, ada baiknya para ahli proyek gas di Indonesia mendukung keputusan presiden, sehingga proyek Masela menjadi kenyataan dengan biaya yang reasonable. Hentikan perdebatan, sekarang waktunya kerja,” tegas Yusri.
Menurut Tenaga Ahli Bidang Energi di Kemenko Maritim Haposan Napitupulu, konsep CNG jika masih dalam skala jarak pendek, yakni berkisar 100-120 km masih bisa dipergunakan. “Namun, kalau jaraknya hingga 2.000 km dengan kapasitas 1 bcfd, maka tidak terbayang keekonomiannya,” katanya dalam pesan tertulis via WhatsApp messenger kepada Eksplorasi.id.
Sementara, Kepala BPH Migas Andy Noorsaman Someng juga via WhatsApp messenger kepada Eksplorasi.id mengatakan, memang perlu diuji keekonomian dan kemudahan operasional pola CNG. “Tapi kalau seandainya di darat dan menggunakan skema hilir, pemerintah atau Pertamina bisa memanfaatkan infratruktur yang idle di Badak untuk dipakai kembali selama masih efisien kinerjanya. Karena manakala beberapa train LNG yang sudah tidak bekerja, sebagai aset negara (di bawah Ditjen Kekayaan Negara), bisa di dismante (dibongkar) dan dipakai kembali di tempat baru,” katanya.
Eksplorasi | Ponco | Her