Eksplorasi.id – Direktur Archipelago Solidarity Foundation (ARSO) Engelina Pattiasina menegaskan pengembangan dan pengelolaan ladang gas abadi Blok Masela hendaknya tidak melahirkan kolonialisme baru atau sejenisnya di Maluku.
“Pengelolaan Blok Masela di masa mendatang diharapkan berdampak besar terhadap kesejahteraan masyarakat di Maluku. Bukan sebaliknya memunculkan neokolonial atau sejenisnya,” kata Engelina saat menjadi salah satu pembicara pada kuliah umum di Universitas Pattimura (Unpatti) Ambon, Sabtu.
Pada kuliah umum yang menghadirkan Menteri Koordinator Kemaritiman dan Sumber Daya Rizal Ramli sebagai pembicara kunci, Engelina mengatakan Maluku masih terpuruk dalam kemiskinan, sehingga dibutuhkan terobosan besar dan berani agar masyarakat Maluku bisa mendapat manfaat yang besar.
“Rempah Maluku melahirkan kolonialisme, ikan melahirkan perbudakan, setidaknya kasus Benjina memperlihatkan gejala itu. Kami berharap semoga Migas di Maluku tidak memunculkan neokolonial atau sejenisnya,” tegasnya.
Menurut Engelina, Blok Masela harus menjadi momentum bagi pemerintah untuk merealisasikan Nawacita dan mengembalikan ruh pasal 33 UUD 1945, sehingga SDA yang melimpah benar-benar dimanfaatkan untuk kesejahteraan rakyat.
“Pemerintah pusat, pemprov, DPRD dan semua kalangan hendaknya tidak bekerja sendiri-sendiri. Kalau bekerja sendiri-sendiri, maka kita tidak akan mampu untuk memanfaatkan keberadaan Blok Masela. Dengan kerjasama dan kebersamaan semua itu menjadi mungkin,” kata lulusan Universitas Bremen Jerman tersebut.
Enggelina menegaskan pengelolaan Blok Masela harus menjadi salah satu kekuatan utama penggerak pertumbuhan ekonomi Maluku di masa mendatang.
Mantan anggota DPR-RI itu mengatakan ladang gas yang tergolong terbesar di dunia dan ada di Maluku harus bermanfaat ganda untuk mensejahterakan masyarakat di provinsi “seribu pulau” tersebut.
Maluku, tandasnya, pernah menjadi pusaran jalur rempah dunia, begitu pun hasil perikanannya sangat melimpah, di mana kekayaan tersebut telah dikuras dan masyarakat Maluku tetap hidup dibawah garis kemiskinan, bahkan tercatat sebagai daerah keempat termiskin di tanah air.
Sangat ironi jika kekayaan Maluku yang sangat besar tersebut, dikuras habis untuk kepentingan negara, sedangkan masyarakatnya tetap hidup dibawah garis kemuskinan.
Keterpurukan masyarakat Maluku ditengah gelimangan sumber daya energi yang kini diburu oleh Negara-negara maju, sungguh sangat menyayat hati, katanya.
“Sekarang Maluku menjadi incaran karena memiliki ladang gas abadi. Apapun pengelolaan dan pengembangannya maka Blok Masela harus menjadi motor penggerak perekonomian di Maluku dan mensejahterakan rakyatnya,” katanya.
Wakil Gubernur Maluku Zeth Sahuburua mewakili pemerintah dan masyarakat Maluku mengucapkan terima kasih atas kebijakan pengelolaan Blok Masela.
Secara khusus, Zeth menyoroti alokasi anggaran yang berdasarkan daratan semata, padahal Maluku memiliki wilayah laut sebesar 90 persen lebih.
“Kami sejak 2012 telah memperjuangkan Maluku sebagai lumbung ikan, tetapi belum terealisasi sampai saat ini,” kata Zeth.
Rektor Universitas Pattimura Marthinus Saptenno menegaskan pihaknya mengapresiasi dan berusaha melaksanakan amanat Presiden Joko Widodo yang meminta agar Unpatti dan perguruan tinggi lainnya mempersiapkan SDM untuk mengisi kebutuhan pengelolaan Blok Masela di masa mendatang.
“Pembicaraan mengenai Blok Masela ini ada di berbagai lapisan masyarakat. Ada euforia yang sangat besar. Setiap hari saya ditanyai kapan Unpatti membuka program minyak dan pertambangan. Kami bersyukur karena tidak lama lagi akan direalisasikan penambahan program studi baru untuk menjawab kebutuhan Blok Masela, termasuk antisipasi industri turunan,” kata Guru Besar Hukum ini.
Untuk mengantisipasi pengembangan Blok Masela, ujar Marthinus yang akrab disapa Nus, pihaknya sudah membentuk tim kajian di Unpatti guna memberikan dukungan ilmiah terhadap berbagai kegiatan yang ada di Blok Masela.
Eksplorasi | Aditya | Antara