Eksplorasi.id – Opsi sumber pendanaan program Dana Ketahanan Energi (DKE) terus meluas. Jika sebelumnya DKE direncanakan akan bersumber dari badan usaha, sekarang pemerintah juga membuka opsi pendanaan dari asing.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said menjelaskan, pemerintah sangat terbuka bila ada donor internasional yang bersifat tak mengikat guna membantu berjalannya program ini. Sudirman menyebut, rencana itu tertuang dalam rancangan peraturan pemerintah (PP) yang sedang disusun oleh Kementerian ESDM.
“PP sebagai payung hukum, mekanisme alokasi dan pemanfaatan, dan sumber lain yang tak mengikat, seperti lembaga donor internasional,” kata Sudirman, Sabtu (5/3). Menurut Sudirman, pemerintah akan tetap mengupayakan agar DKE bisa berjalan tahun ini.
Oleh karena itu, Sudirman berharap, dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (RAPBNP) 2016, DKE bisa diusulkan. “Dapat alokasi sebesar apa pun, paling tidak dana itu mulai bergulir,” ujar mantan direktur utama PT Pindad (Persero) ini.
Sejatinya, pemerintah berkeinginan menjalankan program DKE seiring penurunan harga BBM bersubsidi yang berlaku mulai 5 Januari 2016. Harga BBM yang turun tidak serta-merta mengikuti harga keekonomian jenis Premium maupun solar, melainkan ada pungutan DKE yang akan diambil dari pembeli Premium sebesar Rp 200 per liter dan Rp 300 per liter untuk solar.
Rencana tersebut sontak menuai kritikan sehingga DKE pun ditunda. Selain itu, tidak ada dasar hukum untuk memungut DKE secara langsung dari masyarakat.
Penyebab penolakan lainnya adalah dana untuk pembangunan infrastruktur energi sebenarnya bisa diambil langsung dari item penerimaan minyak dan gas dalam APBN. Pun dengan biaya eksplorasi migas yang seyogianya diambil dari anggaran negara.
Sudirman menambahkan, selain penyusunan regulasi DKE, Kementerian ESDM juga sedang menggodok Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Pemanfaatan tidak Langsung Panas Bumi serta RPP Pemanfaatan Langsung Panas Bumi. Selain itu, lanjutnya, sejumlah progres di bidang EBT, antara lain, terlaksananya Pendampingan Energi Kerakyatan (PETA), pembentukan Badan Layanan Umum (BLU) Sawit, menetapkan Bali sebagai provinsi percontohan energi bersih, penyusunan regulasi IPP Off-grid (Program Energi Terbarukan untuk Desa atau Petdes), penyusunan regulasi Energy Service Company (Esco) sebagai model bisnis efisiensi energi, hingga kampanye masif pentingnya konservasi energi.
Pengembangan EBT, menurut Sudirman, tidak mudah. Sebab, sejumlah tantangan mengadang, antara lain, belum tercapainya komitmen nasional terkait EBTKE, dana investasi dalam jumlah besar masih dibutuhkan, tingginya harga teknologi EBT, hingga masih maraknya isu sosial terkait penolakan masyarakat.
Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian ESDM Rida Mulyana mengatakan, komitmen terhadap EBTKE harus terus disuarakan dan diarusutamakan. Sebab, ke depan, EBT akan menjadi tumpukan pemenuhan energi nasional.
“Kami mengajak seluruh pemangku kepentingan untuk mulai menggeser pandangan miopik ke pandangan yang lebih luas, berjangka panjang, berkesinambungan, dan berkeadilan untuk semaksimal mungkin menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi masyarakat,” katanya.
Sudirman menambahkan, dengan adanya EBT di kawasan yang relatif susah dijangkau PLN, setidaknya rakyat akan mendapat akses pada penerangan yang lebih baik dan lebih merata. Sudirman menambahkan, kegiatan belajar-mengajar bagi kader-kader bangsa akan terbantu tanpa jeda, siang maupun malam.
Selain itu, ketersediaannya memengaruhi taraf kesehatan karena semakin banyak alat kesehatan modern yang membutuhkan dukungan tenaga listrik. “Pendeknya, EBT berperan dalam membuka peradaban serta mendorong ekonomi, kesehatan, pendidikan, bahkan ketahanan,” ujar Sudirman.
Eksplorasi | Republika | Yudo