Eksplorasi.id – PT Pertamina (Persero) diyakini oleh Kepala SKK Migas Dwi Soetjipto tidak mampu memertahankan produksi migas nasional (lifting) terutama dari blok migas terminasi yang dikelola perseroan.
Mantan orang nomor satu di Pertamina itu mengatakan, kondisi turunnya lifting migas di blok-blok terminasi yang dikelola Pertamina menjadi pertimbangan besar dalam pengelolaan Blok Corridor.
“Keputusan Blok Corridor lebih kepada kemampuan Pertamina mengelola blok migas terminasi. Betul (perhatikan kondisi blok terminasi). Ini untuk kepentingan negara, untuk lihat keberlangsungan optimasi dari produksi dan lifting,” kata Dwi dalam konferensi pers di Kementerian EESDM, Jakarta, Senin (29/7).
Direktur Eksekutif Center of Energy and Resources Indonesia (CERI) Yusri Usman mengatakan, semua klaim pemerintah yang diwakili SKK Migas tersebut seakan diamini oleh VP Corporate Communication Pertamina Fajriyah Usman.
Juru bicara Pertamina itu pada Senin (29/7) menulis rilis yang mengakui bahwa Pertamina menerima tidak dijadikan sebagai operator pada saat terminasi Blok Corridor pada 2023, di mana proses transisi baru akan dimulai pada 2026.
“Artinya secara tegas Dewan Komisaris dan Dewan Direksi Pertamina mengakui klaim pemerintah yang diucapkan oleh Kepala SKK Migas Dwi Soetjipto bahwa Pertamina diragukan kinerjanya menjaga blok migas terminasi,” kata dia di Jakarta, Selasa (30/7).
Menurut Yusri, melihat kondisi dan kenyataan tersebut, sudah waktunya Kementerian BUMN mengevaluasi kinerja Dewan Komisaris dan Dewan Direksi Pertamina saat ini untuk diganti secepatnya, terutama figur direktur utama, dengan yang lebih mampu.
“Pertamina di bawah kendali Nicke Widyawati sebagai dirut telah terbukti gagal meyakinkan pemerintah bisa menjaga produksi blok blok migas yang akan terminasi,” ujar dia.
Sebelumnya, Fajriyah Usman dalam rilisnya kemarin (Senin, 29/7) menjelaskan bahwa pihaknya menyambut baik keputusan pemerintah yang menyetujui kenaikan hak partisipasi atau participating interest (PI) sebesar 30 persen kepada Pertamina di Blok Corridor.
Fajriyah menjelaskan, sebagaimana 11 blok migas terminasi lainnya, Pertamina juga memastikan telah siap menjadi operator Blok Corridor pada 2026, atau tiga tahun setelah kontrak berjalan di Blok Corridor.
“Pertamina melalui anak usahanya Pertamina Hulu Energi Corridor telah mendapat hak PI sebesar 30 persen yang sebelumnya hanya 10 persen. Hak partisipasi tersebut akan dimulai setelah tahun 2023. Peningkatan hak PI bagi Pertamina merupakan hal positif,” ujar dia.
Dia menambahkan, Pertamina percaya pemerintah telah melakukan pertimbangan yang mendalam yang baik bagi semua pihak, dan Pertamina segera mempersiapkan berbagai strategi dan langkah untuk menjadi operator Blok Corridor pada 2026 hingga kontrak selesai pada 2043.
Dugaan Kongkalikong
Di satu sisi, lanjut Yusri Usman, ada kesan dan dugaan bahwa jajaran direksi Pertamina saat ini sangat tunduk penuh kepada pemerintah. Namun, kepatuhan tersebut disinyalir juga melanggar peraturan perundangan yang ada.
“Terkait Blok Corridor atau blok yang sudah habis masa kontraknya, semestinya sepenuhnya diberikan kepada Pertamina sesuai perundangan yang berlaku,” jelas dia.
Yusri menjelaskan, Peraturan Menteri ESDM No 23/2018 tentang Pengelolaan Wilayah Kerja Migas yang Akan Berakhir Kontrak Kerja Samanya, yang dipandang sebagai dasar perpanjangan pengelolaan Blok Corridor, sejatinya telah dibatalkan oleh Mahkamah Agung (MA).
“Permen ESDM No 23/2018 sudah dibatalkan oleh MA. Semestinya yang berlaku adalah Permen ESDM No 15/2015, di mana di dalamnnya tertulis bahwa blok wilayah kerja migas yang akan habis kontraknya harus diberikan pengelolaannya kepada BUMN,” tegas dia.
Yusri menduga, peraturan perundangan tersebut sengaja dilanggar karena terjadi dugaan kongkalikong, di mana akhirnya ConocoPhillips tetap ditunjuk sebagai operator Blok Corridor.
“Anehnya lagi, penunjukkannya langsung tanpa adanya proses tender terlebih dahulu. Dugaan kongkalikong atau hengkipengki jelas tercium,” ungkap dia.
Sekedar informasi, kontrak bagi hasil Blok Corridor akan berlaku 20 tahun, efektif sejak 20 Desember 2023 dengan menggunakan skema gross split. Pada tiga tahun pertama, operatornya adalah Conoco Philips dan selama 17 tahun berikutnya menjadi hak Pertamina untuk mengelola Blok Corridor.
Blok yang terletak di Banyuasin, Sumatera Selatan ini tercatat memiliki cadangan gas nomor tiga terbesar di Indonesia, di mana produksi gasnya berkontribusi hingga 17 persen dari total produksi gas nasional.
Perkiraan nilai investasi dari pelaksanaan komitmen kerja pasti (KKP) lima tahun pertama sebesar USD 250 juta dan bonus tanda tangan (signature bonus) sebesar USD 250 juta.
Reporter: Sam.