Eksplorasi.id – Pemerintah Indonesia optimis mampu memberikan kontribusi optimal dalam menyelesaikan komitmen terhadap adaptasi perubahan iklim pada Paris Agreement.
Percepatan transisi energi dari fosil ke energi baru terbarukan diyakini secara cepat membantu menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 29 persen di tahun 2030 dan mengerem kenaikan suhu tidak lebih dari 2 derajat celcius.
Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM Dadan Kusdiana mengungkapkan visi transformasi energi tersebut sesuai dengan pidato Presiden Joko Widodo dalam Konferensi Tingkat Tinggi Perubahan Iklim pada Kamis (22/4) minggu lalu.
“Presiden (Jokowi) minggu lalu sudah menyampaikan transisi energi. Saya kira tidak ada pilihan yang lain untuk tidak menyukseskan,” kata Dadan dilansir dari laman Kementerian ESDM, Rabu (28/4).
Dalam lima tahun terakhir, sambung Dadan, EBT dinilai telah menunjukan perkembangan signifikan dalam memberikan sumbangsih terhadap ketenagalistrikan, penggunaan bahan bakar hingga pemanfaatan secara langsung.
“EBT tidak hanya digunakan untuk listrik, tapi juga bahan bakar. Ada juga yang tidak masuk dua-duanya. Tapi bisa digunakan secara langsung dalam bentuk heat (panas),” jelasnya.
Sebagai contoh subtitusi bahan bakar fosil, Kementerian ESDM mencatat angka pemanfaatan biodiesel tumbuh 3 kali lipat dalam kurun waktu lima tahun terakhir. Realisasi biodiesel sendiri sudah dimulai terhitung sejak tahun 2008 dengan memperkenalkan produk campuran biodiesel sebesar 10% (B10).
Puncaknya, realisasi produksi biodiesel mencapai 3,01 juta kiloliter (kl) di tahun 2015, kemudian meningkat menjadi B30 dengan realisasi 8,46 juta kl di tahun 2020.
“Kita punya track record yang bagus. Dalam waktu lima tahun bisa meningkatkan tiga kali lipat pemanfaatan bahan bakar nabati di dalam negeri,” ungkap Dadan.
Keberhasilan ini menempatkan Indonesia sebagai negara yang diperhitungkan dalam pasar biodiesel dunia sebagai negara penghasil biodiesel terbanyak melampui Amerika Serikat, Brasil, maupun Jerman. Hal ini berdampak pula pada penghematan devisa sebesar Rp38,31 triliun (USD2,66 miliar) pada tahun 2020.
Dari sisi bauran pembangkit listrik, Dadan menyampaikan EBT mampu menambah kapasitas pembangkit sebesar 2 Giga Watt (GW) dalam lima tahun terakhir.
“Angkanya mungkin tidak terlalu besar apalagi untuk target ke depan, tapi bisa menjadikan dua kali lipat,” terang Dadan.
Melihat realisasi tersebut, Dadan optimis pemerintah mampu menjawab tantangan dalam mencapai target bauran EBT sebesar 23 persen di tahun 2025 dimana pada akhir tahun 2020 lalu telah mencapai 11,3 persen.
“Sekarang ini waktu yang pas agar kita melipatgandakan angka bauran energi dalam lima tahun mendatang apalagi kalau melihat ke belakang mempunyai record keberhasilan,” tegasnya.
Capaian ini bisa diwujudkan dengan mengakselerasi potensi EBT yang cukup lengkap dan tersebar merata di seluruh Indonesia. “Saya mengajak semuanya bahwa kita itu punya kekuatan. Potensi sudah jelas. Semuanya ada dan tersebar di semua wilayah. Seperti NTT, meskipun kering punya potensi untuk angin dan surya. Radiasinya 1,4 kali dibandingkan dari wilayah lain. Dari sisi itu justru kekuatannya,” pungkas Dadan.