Eksplorasi.id – Setopnya produksi gas dari Lapangan Kepodang di Blok Muriah yang dioperatori Petronas Caligari Muriah Ltd pada 2018 nanti menyebabkan terjadinya kerugian potensi penerimaan negara hingga Rp 23,69 triliun.
Direktur Eksekutif Center of Energy and Resources Indonesia (CERI) Yusri Usman mengatakan, potensi itu dihitung berdasarkan kontrak bagi hasil (production sharing contract/ PSC) dengan mekanisme cost recovery.
“Basis perhitungannya adalah selama delapan tahun tidak memproduksi gas dan suplai gas terhitung sejak 2019 hingga 2026 ke PLN berhenti. Rinciannya, harga jual gas USD 6 per MMBtu dengan gas flow 200 MMscfd, produksi 360 hari per tahun, 25 persen cost recovery, dan 70:30 revenue split,” kata dia kepada Eksplorasi.id di Jakarta, Kamis (17/8).
Berdasarkan analisa perhitungan tersebut, jelas Yusri, maka potensi penerimaan negara yang hilang adalah perkalian 200 MMscfd dikalikan USD 6 per MMBtu dikalikan 360 hari dikalikan delapan tahun dikalikan 75 persen net revenue dikalikan 70 persen split hasilnya menjadi USD 1,8 miliar atau sekitar Rp 23,69 triliun (kurs Rp 13.160), dengan catatan 1 MMscfd sama dengan 1.000 MMBtu/d.
“Mengingat potensi kerugian negara yang cukup besar bila ditambah kerugian BUMN bisa melebihi 10 kali kerugian negara dikasus KTP elektronik, sudah semestinya Kementerian ESDM segera membentuk tim yang kredibel untuk melakukan investigasi,” ujar dia.
Pendapat Yusri, publik saat ini menunggu sikap tegas Menteri ESDM Ignasius Jonan dan Wakil Menteri ESDM Archandra Tahar yang selama ini sangat tegas kepada PT Pertamina (Persero) dan PT PGN Tbk (Persero) dalam hal perpanjangan blok migas dan harga jual gas Lapangan Jambaran Tiung Biru (JTB) di Gresik, Jawa Timur.
“Sejalan dengan itu BPK harus segera bertindak tanpa diminta oleh siapapun. Begitu juga penegak hukum seperti KPK, Kepolisian, dan Kejaksaan Agung untuk menyelidiki adanya oknum-oknum gendoruwo yang bermain di kasus ini untuk secepatnta dilakukan penindakan secara hukum,” jelas dia.
Yusri berkomentar, setopnya produksi gas di Lapangan Kepodang disebabkan adanya pernyataan kondisi kahar (government force majeure). “Senior Manager Corporate Affairs & Administration Petronas Carigali Indonesia Andiono Setiawan pernah mengatakan, kondisi kahar telah disampaikan sejak 8 Juni 2017. Keputusan itu katanya diambil setelah melalui penilaian dan kinerja yang telah dilakukan,” katanya.
Mengutip pernyataan Andiono, hasil penilaian menyebutkan, dari delapan sumur yang dibor sampai saat ini menunjukkan cadangan yang ada di lapangan itu telah habis. Untuk itu, saat ini perusahaan membahas kelanjutan blok tersebut dengan pemerintah.
“Padahal gas dari dari Lapangan Kepodang menjadi bahan bakar utama disejumlah pembangkit listrik di Tambak Lorok, Semarang. Seperti PLTGU Tambak Lorok Blok I dan II dengan kapasitas masing-masing 3 x 109,5 MW dan 1 x 188 MW. Belum lagi rencana pembangunan PLTGU Tambak Lorok Blok 3 berkapasitas 779 MW,” kata dia.
Gas dari Lapangan Kepodang dialirkan melalui pipa menuju fasilitas penerimaan di darat (onshore receiving facility/ ORF), untuk disalurkan menuju PLTGU Tambak Lorok milik PLN.
Pengaliran gas berdasarkan perjanjian jual beli gas antara Petronas Carigali Muriah dan PLN yang telah diteken pada 29 Juni 2012. Kontrak ini berlaku hingga 2026 sebanyak 116 MMscfd. Namun ternyata lapangan hanya bisa memproduksi gas hingga 2018.
“Kondisi kahar pertama kali diekspos ke publik oleh Deputi Operasi SKK Migas Fatar Yani Abdurrahman yang pernah bekerja di Petronas Caligari Muriah dengan jabatan terakhir sebagai operations manager. Pernyataan itu hingga kini belum terkonfirmasi dengan jelas dan benar apakah itu sikap resmi SKK Migas atau sikap pribadi Fatar Yani,” jelas dia.
Menurut Yusri, klaim habisnya cadangan gas di Lapangan Kepodang yang baru dibor sejak 2016 hingga awal 2017, membuka mata publik bahwa kondisi itu menyimpulkan adanya ketidaksesuaian dengan cadangan gas yang telah disertifikasi oleh lembaga ITB dari hasil ekplorasi yang pernah dilakukan oleh BP sekitar 2004.
Sekedar informasi, Petronas Caligari mengakuisisi 100 persen saham di Blok Muriah, Jawa Tengah dari BP Plc pada medio pertengahan 2004. Kemudian, rencana pengembangan (plan of development/ POD) pertama disetujui pada 2005 oleh menteri ESDM kala itu, Purnomo Yusgiantoro, dan Raden Priyono baru menjabat sebagai kepala BP Migas.
“Setelah sekian lama tidak dikomersilkan, POD revisi baru diteken pada 10 Agustus 2012 saat Jero Wacik duduk sebagai menteri ESDM Jerok Wacik atas rekomendasi BPMigas yang juga masih dijabat oleh Raden Priyono. Revisi berupa perpanjangan wilayah kerja (WK) dari Kementerian ESDM dari 2021-2026. Lapangan Kepondang komersial pertama pada 2015,” ujar Yusri.
Hindari Klaim Kerugian
Yusri Usman menduga, deklarasi kondisi kahar yang dilaporkan Petronas Carigali Muriah dan langsung diamini oleh Fatar Yani kemungkinan bertujuan menghindari klaim kerugian dari pihak PLN yang telah terikat perjanjian jual beli gas (sales purchase agreement/ SPA).
“Sikap menerima kondisi kahar yang telah diekspos Fatar Yani akan dibaca publik atas nama siapa dia bicara. Anehnya, komentar Fatar Yani pun cepat diamini juga oleh Direktur Utama PT Saka Energi Indonesia Tumbur Parlindungan,” ujar dia.
Saka Energi adalah anak usaha PT PGN Tbk (Persero) yang memiliki 20 persen saham di Blok Muriah melalui bendera Saka Energi Muriah Ltd. Saka mengambil 20 persen saham di Blok Muriah dari Sunny Ridge pada 16 Desember 2014.
“Fatar Yani dan Tumbur Parlindungan terkesan menyederhanakan masalah tanpa terlebih dahulu melakukan audit investigatif. Audit diperlukan untuk mengetahui di mana letak kesalahannya dan siapa yang harus bertanggungjawab atas adanya potensi kerugian negara,” jelas dia.
Potensi kerugian negara, imbuh Yusri, kemungkinan dialami oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang diwakili BUMD, terkait saham partisipasi (participating interest/ PI) 10 persen. Belum lagi prediksi kerugian yang akan dialami Saka Energi dan PLN yang mungkin harus mencari sumber gas baru dengan harga lebih mahal.
“Belum lagi rencana PLN melalui anak usahanya, PT Indonesia Power, yang akan membangun PLTGU Tambak Lorok Blok 3 berkapasitas 779 MW dengan nilai investasi Rp 4,8 triliun yang diharapkan selesainya pada 2020. Suplai gasnya juga akan berasal dari Lapangan Kepodang. Belum lagi kerugian yang dialami PT Bakrie & Brothers Tbk sebagai operator pipa Kalimantan Jawa,” katanya.
Reporter : HYN