Eksplorasi.id – Acara seremonial penyerahan dokumen dari SKK Migas ke BP Tangguh Berau Ltd terkait keputusan akhir investasi (final investment decision/FID) pembangunan Kilang LNG Tangguh Train 3 di Provinsi Papua Barat menunjukkan adanya gagal paham Menteri ESDM Sudirman Said dan Kepala SKK Migas Amien Sunaryadi tentang kegiatan hulu migas.
Hal itu diungkap salah seorang pejabat dilingkup Kementerian ESDM yang enggan disebut namanya kepada Eksplorasi.id, seperti ditulis Selasa (5/7).
“Acara tersebut terkesan dibuat untuk mengejar aspek pencitraan dan menggunakannya untuk kepentingan politik bahwa menteri ESDM dan kepala SKK Migas seolah berhasil menarik investasi yang besar,” kata pejabat tersebut.
Dia menjelaskan, perlu diingat bahwa nilai Autorization for Expenditure (AFE) itu semacam pagu anggaran yang kita setujui untuk mengerjakan sebuah proyek, dalam hal ini pembangunan Train-3.
“Pagu ini kelak akan direalisasikan tiap tahun dalam bentuk Work Program & Budget atau WPNB. Nah, WPNB yang disetujui tersebut akan menjadi jumlah cost recovery yang harus dibayar dan dibebankan dari gross revenue pada tahun berjalan,” jelas pejabat itu.
Sebelumnya, pada Jumat (1/7), Kepala SKK Migas Amien Sunaryadi menyerahkan dokumen ke BP Regional President Asia Pacific Christina Verchere terkait pembangunan Kilang Tangguh Train 3.
Dokumen yang disampaikan oleh Amien Sunaryadi kepada Christina Verchere itu adalah, persetujuan nilai autorization for expenditure (AFE) untuk pembangunan Kilang LNG Train 3, baik untuk fasilitas darat dan lepas pantai.
Penetapan pelaksanaan proyek yang ditargetkan bisa beroperasi pada 2020 ini disaksikan oleh Menteri ESDM Sudirman Said. Investasi proyek yang dioperasikan, dan mayoritas sahamnya dimiliki oleh BP Tangguh Berau Ltd itu sekitar USD 8 miliar atau setara Rp 105,1 triliun (kurs Rp 13.133).
Baca juga: http://eksplorasi.id/investasi-kilang-lng-tangguh-train-3-ditetapkan-sebesar-rp-1051-triliun/
Menurut pejabat tersebut, semakin besar AFE dan WPNB yang disetujui, maka semakin besar pula cost recovery yang harus dibayar. Dalam hal ini maka AFE dan WPNB yang disetujui akan di cost recovery dari revenue Train-1 dan 2.
“Di era sebelum Sudirman Said belum pernah ada acara penyerahan persetujuan AFE yang dipolitisir seolah menjadi persetujuan investasi. Ini jelas keliru memahaminya makna investasi migas. Kita tahu bahwa persetujuan AFE itu juga punya dimensi cost recovery yang semakin besar. Dengan demikian ESDM dan SKK Migas justru seharusnya agar berhati-hati dan cermat dalam menyetujui besarnya AFE, dan bukan malah memperbesar jumlah persetujuan agar tampak jumlah investasi juga membesar.”
“Dengan harga LNG yang semakin rendah, maka gross revenue dari Train-1 dan 2 juga semakin kecil. Penerimaan yang semakin kecil ini jika dibebani lagi dengan cost recovery yang makin besar maka net revenue penerimaan negara yang sudah mengecil akibat penurunan harga LNG akan semakin kecil lagi,” ujarnya.
Pejabat itu kembali berkomentar, dengan ‘mengacarakan’ persetujuan AFE ini maka terkesan bahwa menteri ESDM dan kepala SKK Migas menyambut investasi dalam jumlah besar, padahal sejatinya itu dapat juga berarti menyambut makin berkurangnya penerimaan negara.
“Di era sebelum Sudirman Said belum pernah ada acara penyerahan persetujuan AFE yang dipolitisir seolah menjadi persetujuan investasi. Ini jelas keliru memahaminya makna investasi migas. Kita tahu bahwa persetujuan AFE itu juga punya dimensi cost recovery yang semakin besar. Dengan demikian ESDM dan SKK Migas justru seharusnya agar berhati-hati dan cermat dalam menyetujui besarnya AFE, dan bukan malah memperbesar jumlah persetujuan agar tampak jumlah investasi juga membesar,” tegas si pejabat.
Eksplorasi | Heri