Eksplorasi,id – Harga gas untuk kalangan industri di Tanah Air air saat ini berkisar USD 8,3 per MMBtu. Salah satu penyebab tingginya harga gas tersebut adalah komponen penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dari gas dan pajak penghasilan (PPh).
Dirjen Migas Kementerian ESDM, IGN Wiratmaja Puja mengatakan, dari total harga gas USD 8,3 per MMBtu itu, PNBP berkontribusi sebesar USD 0,92 per MMBtu dan pajak penghasilan (PPh) USD 1,19 per MMBtu.
“Kalau negara mengorbankan PNBP dan PPh ini, harga gas bisa turun sekitar USD 2,11 per MMBtu. Rata-rata harga gas di hulu bisa turun dari USD 5,9 per MMBtu menjadi USD 3,82 per MMBtu. Ini seperti yang dilakukan di Malaysia,” kata dia dalam diskusi di Kementerian ESDM, Jakarta, Senin (24/10).
Dia mengungkapkan, namun jika seluruh PNBP dari gas dihapus, penerimaan negara akan berkurang USD 550 juta atau sekitar Rp 7 triliun per tahun. Sementara bila PNBP dan PPh dari gas semuanya dihapus, penerimaan negara hilang USD 1,263 miliar atau Rp 16,33 triliun.
“Ini alternatif yang perlu dipertimbangkan. Kalau tax (PPh) juga tidak diambil, penerimaan negara berkurang USD 1,263 miliar per tahun. Di Malaysia, harga gas bisa lebih murah dari Indonesia karena mereka menggunakan skema ini,” jelas dia.
Menurut Wiratmaja, di Negeri Jiran tersebut gas tidak dijadikan sebagai komoditas untuk penerimaan negara, tapi sebagai pendorong pertumbuhan ekonomi.
“Mereka (Malaysia) yang dikejar adalah multiplier effect dari industri pengguna gas. Malaysia tidak ada share (bagian hasil) untuk negara, mereka menggunakan sistem subsidi,” jelas dia.
Reporter : Ponco S