Eksplorasi.id – Polemik apakah PT PLN (Persero) akan membeli gas alam cair (liquefied natural gas/ LNG) dari dua perusahaan asal Singapura, Pavilion Gas Pte Ltd dan Keppel Singmarine Pte, terus berkembang.
Iwan Ratman, seorang pakar LNG internasional, kepada Eksplorasi.id berkomentar, analisa yang mengatakan bahwa kedua perusahaan Singapura bisa menyediakan LNG murah sah-sah saja.
“Karena fakta sesungguhnya sudah jelas sesuai dengan berita yang ada di media Singapura. Tidak mungkin media Singapura menulis berita bohong,” kata dia, Kamis (14/9) malam.
Iwan kemudian memberikan gambaran bahwa saat ini harga Free on Board (FOB) LNG Rusia berkisar USD 300 per metrik ton atau sekitar USD 2,27 per MMBtu.
“Kalau kemudian LNG itu dibawa ke Singapura ditambah biaya kapal sekitar USD 1 per MMBtu, harga akhir CIF (Cost, Insurance, Freight) di Singapura menjadi USD 3,27 per MMBtu. Jadi ketika dibilang harga LNG Singapura USD 3,8 per MMBtu adalah wajar, karena mereka ambil untung sekitar USD 0,5 per MMBtu,” jelas dia.
Penjelasan Iwan, bila kedua perusahaan Singapura tersebut bertindak sebagai trader LNG, dengan asumsi satu kargo LNG sebesar 3 juta MMBtu, trader akan untung USD 1,5 juta per kargo. “Bayangkan kalau dalam satu bulan bisa jual 10 kargo saja maka untungnya bisa mencapai USD 15 juta,” jelas dia.
Menurut Iwan, produk LNG dalam negeri tidak bisa kompetitif dengan harga LNG Rusia, meskipun ongkos kapal hanya USD 0,5 per MMBtu. “Karena harga dasarnya saja bisa USD 5 per MMBtu dengan asumsi slope 10 persen,” katanya.
Pendapat Iwan, kisrus LNG Singapura ini bermula karena pemerintah berkukuh tetap tidak mau menurunkan harga spot kargo LNG. Alasannya, bisa menurunkan penerimaan negara.
“Prinsip negara saat ini sepertinya tidak apa-apa tidak laku, yang penting jangan banting harga. Singapura mengambil keuntungan dengan situasi ini, ditambah lagi Keppel akan buatkan unit regasifikasi dan penampungan terapung (floating storage and regasification units/ FSRU),” jelasnya.
Iwan lalu coba menghitung harga LNG Singapura yang akan dijual ke PLN. Harga beli LNG (USD 3,8 per MMBtu) ditambah biaya kirim ke FSRU (USD 0,4 per MMBtu) plus biaya storage regasification dan compression (USD 0,1 per MMBtu ditambah USD 0,8 ditambah USD 0,1 hasilnya USD 1 per MMBtu), hasil akhir menjadi USD 5,2 per MMBtu. “Artinya masih di bawah USD 6 per MMBtu kan?” ujarnya.
Penegasan Iwan, karena tidak adanya sinergi BUMN maka terjadi tarik menarik. Selama ini, imbuh dia,PT Pertamina (Persero) tidak mau tahu kebutuhan PLN, yaitu menjual LNG mahal sesuai dengan harga kontrak LNG yg diekspor dan tidak mau investasi FSRU.
“Sementara PLN maunya beli gas murah agar keekonomian masuk karena tarif sudah ditentukan pemerintah. Jadi kalau tarif listrik 9 sen per kWH, maka PLN harus bisa produksi di bawah itu supaya dapat untung,” terangnya.
Iwan menjelaskan, komponen energi primer seperti gas biasanya memakan cost structure hingga 80 persen, sehingga sensitivitasnya tinggi terhadap harga pokok produksi.
“Solusinya, Pertamina, PLN, PGN, dan Kementerian ESDM duduk bareng agar pemanfaatan produk LNG domestik bisa tercapai. Libatkan swasta untuk bangun FSRU bila Pertamina tidak ada dana,” ucapnya.
Reporter : HYN