Eksplorasi.id – Pembentukan induk usaha (holding) Badan Usaha Milik Negara di sektor energi yang salah satunya dengan menggabungkan PT Perusahaan Gas Negara (Persero) Tbk (PGAS) menjadi unit usaha PT Pertamina (Persero) akan menjamin terlaksananya pengembangan dan pembangunan infrastruktur gas. Dampaknya, monetisasi gas akan lebih cepat dari kegiatan di sektor hulu.
“Holding dapat dengan cepat memanfaatkan gas hasil produksi dari sektor hulu dengan memaksimalkan jaringan infrastruktur PGN dan Pertamina yang terintegrasi melalui satu kendali operasi, termasuk untuk pengembangan jaringan investasi yang baru,” ujar Herman Agustiawan, Kepala Pusat Studi Ketahanan Energi (PSKE) Universitas Pertahanan Indonesia, Selasa (5/7).
Menurut Herman, kegiatan di hulu menjadi lebih pasti dengan adanya kepastian pembeli gas, utamanya pasar domestik yang memang kekurangan pasokan akibat terbatasnya infrastruktur dan harga.
“Bisnis midstream dan downstream akan tumbuh dan berkembang dengan adanya kepastian pasokan gas dari sektor hulu,” ungkapnya.
Herman menambahkan jika infrastruktur gas yang ada (existing) serta pengembangan infrastruktur yang baru sudah terintegrasi, monetisasi bisa lebih cepat.
Pertamina merupakan BUMN terbesar di Indonesia dengan total aset pada akhir 2015 sebesar US$45,5 miliar. Pertamina merupakan perusahaan energi yang memiliki bisnis terintegrasi dari hulu hingga hilir.
Perseroan telah berinvestasi cukup signifikan dalam pembangunan pipa transmisi demi menjamin monetisasi cadangan hulu dan optimasi produksi gas nasional. Di hulu (upstream), perseroan mengoperasikan sejumlah ladang gas dengan produksi rata-rata sekitar 1.900 juta kaki kubik per hari (MMSCFD). Bahkan, Pertamina pada 2018 akan menjadi operator sekaligus pemegang hak partisipasi terbesar di blok gas terbesar di Indonesia, Blok Mahakam di Kalimantan Timur.
Pertamina bersama mitra dari dalam dan luar negeri juga mengoperasikan Donggi Senoro LNG Plant yang memproduksi LNG. DSLNG tercatat mendapat pasokan gas alam dari PT Pertamina EP area Matindok, JoB PHE-Medco Tomori Sulawesi. Melalui PT Badak NGL, Pertamina juga mengoperasikan LNG Plant yang memproduksi LNG dan ekses LPG di Bontang, Kalimantan Timur.
Sementara itu untuk midstream, Pertamina memiliki dan mengoperasikan kilang penerima LNG melalui anak usahanya, PT Nusantara Regas, perusahaan hasil sinergi Pertamina dan PGN saat ini. Pertamina juga telah mengoperasikan fasilitas Terminal Penerima, Hub, dan Regasifikasi LNG di Arun melalui afiliasi PT Perta Arun Gas.
Sementara itu, PGN tercatat mengoperasikan jalur pipa distribusi gas sepanjang lebih dari 3.750 km dan jalur pipa transmisi gas bumi yang terdiri atas jaringan pipa bertekanan tinggi sepanjang sekitar 2.160 km yang mengirimkan gas bumi dari sumber gas bumi ke stasiun penerima pembeli. Sayangnya, tidak semua jaringan infrastruktur gas PGN yang open access, sehingga tidak bisa dimanfaatkan oleh produsen gas. Akibatnya, harga jual gas PGN cenderung lebih tinggi.
Menurut Herman, dari sisi reorganisasi, PGN sebaiknya hanya sebagai bisnis unit yang nantinya bisa digabung dengan anak usaha Pertamina, yakni PT Pertamina Gas (Pertagas). Penggabungan bisa dilakukan melalui pembelian saham kembali (buyback) 43% saham publik PGN oleh Pertamina atau melalui pernyertaan modal negara yang ada di Pertagas.
Kurtubi, Anggota Komisi VII dari Fraksi Partai Nasser DPR, menegaskan infrastruktur gas sudah seharusnya dikuasai negara yang dikelola perusahaan negara. Hal itu bisa diwujudkan jika PGN menjadi anak usaha Pertamina.
“Sebab menjadi lucu dan aneh jika nanti infrastuktur yang sudah jadi diserahkan ke PGN yang notabene 40% sahamnya masih dikuasai asing,” tegas Kurtubi.
Berly Martawardaya, dosen ekonomi energi pada FE UI, menambahkan karena sebagian sahamnya dimiliki asing, Pertagas tidak bisa di alihkan ke bawah PGN.
“Optimal arrangement-nya bila saham pemerintah di PGN di mandatkan pada Pertamina sehingga PGN bisa jadi anak perusahaan Pertamina,” katanya.
Eksplorasi | Aditya