Eksplorasi.id – Keputusan Indonesia berencana mengimpor gas dari perusahaan asal Singapura, Keppel Offshore & Marine, terus menuai protes.
Singapura diketahui bukan negara penghasil gas. Di satu sisi, Keppel Offshore & Marine juga bukan investor lapangan gas di Timur Tengah.
“Keppel Offshore & Marine itu perusahaan trading murni yang punya stok tapi tidak punya produksi,” kata Direktur Eksekutif Center of Energy and Resources Indonesia (CERI) Yusri Usman di Jakarta, Senin (28/8).
Yusri berpendapat, cara terbaik bagi Indonesia untuk melakukan impor gas adalah tetap saja membeli langsung dari penghasil gas, apabila pemerintah atau negara kekurangan gas.
Menurut dia, impor gas yang dilakukan meskipun dengan memakai landed price di Indonesia, namun tetap akan butuh biaya floating storage/terminal (receiving).
“Belum lagi biaya regasifikasi, lanjut biaya distribusi (pipa, tongkang, dan mobil) hingga ke konsumen. Harus dilihat secara apple to apple sampai ke end customer apakah benar harganya murah,” ujar dia.
Yusri merasa khawatir apa mungkin kedatangan perusahaan Singapura tersebut akan mengulang cerita lama ketika sesaat setelah pelantikan Joko Widodo-Jusuf Kalla memimpin negeri ini.
“Saat itu, tepatnya pada 31 Oktober 2014, kita dihebohkan oleh perusahaan China Sonangol yang bisa menawarkan minyak mentah murah 25 persen dari harga rata rata di pasar,” jelas dia.
Bahkan, lanjut dia, saat itu Wakil Presiden Angola Manuel Domingos Vicente datang menemui Jusuf Kalla dan menyaksikan tanda tangan MoU antara PT Pertamina (Persero) dengan Sonangol EP atau Sociedade Nacional de Combustiveis de Angola EP.
“Konon kabarnya saat itu untuk merealisasikan rencana tersebut bahkan saat itu beredar kabar Enggartiasto Lukito sibuk mengawal China Sonangol di Pertamina,” ungkap Yusri.
Dia berkomentar, bahkan direktur Pemasaran dan Niaga Pertamina saat itu, Hanung Budya Yuktyanta, sangat optimistis kerja sama antarkedua negara akan dipersembahkan dalam joint agreement antara Pertamina dengan Sonangol.
“Guna merealisasikan proyek di hulu dan hilir seperti membangun kilang, bahkan Muhammad Husein sebagai Plt dirut Pertamina dengan lantang mengatakan bahwa dari kerja sama itu Indonesia lima hingga enam tahun ke depan akan swasembada energi,” katanya.
Belakangan, terang Yusri, rencana itu tidak jelas ujungnya. Bahkan setahun kemudian publik mendapat kabar terakhir bahwa salah satu pemilik Sonangol, Sam Pa, ditahan dalam investigasi yang dilakukan oleh Partai Komunis Cina di sebuah hotel di Beijing pada 8 Oktober 2015.
Sam Pa ditangkap satu hari setelah penyelidikan terhadap gubernur Provinsi Fujian yang juga pimpinan kilang minyak besar di China Sinopec, Su Shulin, atas kasus korupsi. Sam Pa diduga terlibat dalam tindakan yang dilakukan oleh Shulin.
Seperti dilansir Financial Time, masa lalu Sam Pa tidak terekam dengan lengkap. Dia diperkirakan lahir di Cina pada 1958 dan pindah ke Hong Kong saat masih anak-anak. Meski berkebangsaan Cina, Sam Pa juga memegang kartu warga negara Angola.
Reporter : HYN