Eksplorasi.id – PT Inalum (Persero) akan berencana menggenjot produk hilirisasi pertambangan hingga mencapai senilai USD 10 miliar atau setara dengan Rp 150 triliun (kurs Rp 15.000).
Direktur Utama Inalum Budi Gunadi Sadikin mengatakan, proyek tersebut memiliki konsep kerjasama dengan perusahaan lain atau joint venture. Rencanannya proyek ini akan dimulai pada akhir tahun ini.
Adapun, proyek yang akan berjalan di tahun ini dari sektor alumunium, bauksit dan batubara. Sedangkan sektor lainnya, seperti nikel dan timah belum direalisasikan.
“Jadi proyek ini bisa mengurangi impor dan menjaga current account devisit nggak makin melebar jadi rupiah bisa menguat lagi. Ini (proyek) bisa bernilai USD 10 miliar,” kata dia, Minggu (28/10), seperti dilansir Detik.com.
Penjelasan Budi, dengan adanya pabrik produk hilirisasi, pemerintah tidak perlu mengekspor bahan mentah dan mengimpor barang jadi, seperti alumunium, sehingga bisa memenuhi bahan baku sendiri.
“Jadi Inalum itu butuh alumunia dan itu 100 persen impor dari Australia, India dan Cina. Padahal, bahan alumunia, itu bauksit kita yang ekspor ke sana. Jadi nanti nggak impor lagi,” jelas dia.
Dia menambahkan, proyek di sektor alumunium dan bauksit akan berkerjasama dengan PT Antam dan Aluminum Corporation of China Ltd (Chalco) untuk mendirikan pabrik di Mempawah, Kalimantan Barat. “Jadi tahap pertama itu pembuatan bauksit jadi alumina dan tahap kedua itu baru jadi alumunium,” ujar dia.
Kemudian, untuk sektor batubara akan membangun pabrik dimethyl ether (DME) sebagai bahan bakar pupuk dan plastik. Pembangunan ini akan bekerjasama dengan PT Bukit Asam Tbk, PT Pertamina (Persero), PT Pupuk Indonesia (Persero), dan PT Chandra Asri Petrochemical Tbk.
Reporter: Sam