Eksplorasi.id – PT PLN (Persero) diketahui memiliki sejumlah utang yang telah memasuki jatuh tempo. Adapun utang perusahaan setrum pelat merah tersebut yang masuk jatuh tempo di antaranya adalah Obligasi PLN IX Tahun 2007.
Berdasarkan Laporan Keuangan Konsolidasian Interim (Tidak Diaudit) PLN per 31 Maret 2017 yang dikutip Eksplorasi.id, PLN pada 2007 menerbitkan Obligasi IX seri A sebesar Rp 1,5 triliun dengan tingkat bunga 10,4 persen. Kemudian, perseroan juga mengeluarkan Sukuk Ijarah PLN II Tahun 2007 sebesar Rp 300 miliar. Obligasi dan sukuk tersebut akan jatuh tempo pada 10 Juli 2017.
Sebelumnya juga ada surat utang PLN yang jatuh tempo pada 28 Juni 2017. Besarannya mencapai USD 500 juta atau setara Rp 6,5 triliun (kurs Rp 13 ribu). Surat utang tersebut diterbitkan pada 2007 dengan harga penerbitan 99,13 persen dan tingkat bunga 7,25 persen. Belum diperoleh informasi apakah surat utang tersebut telah dibayarkan oleh PLN atau belum.
Di satu sisi, masih berdasarkan laporan keuangan PLN, perseroan secara keseluruhan memiliki total liabilitas (utang yang mesti dibayar) mencapai Rp 407,5 triliun. Rinciannya, utang jangka pendek Rp 129,8 triliun dan utang jangka panjang Rp 277,7 triliun.
PLN diketahui juga memiliki utang sewa pembiayaan kepada PT Central Java Power (CJP) dalam rangka Perjanjian Sewa Pembiayaan atas pengadaan pembangkitan tenaga listrik 4 x 660 MW Tanjung Jati B Unit A, B, C dan D.
Sehubungan dengan perjanjian sewa pembiayaan CJP, maka Sumitomo Mitsui Banking Corporation Singapura bertindak sebagai escrow agent dan Sumitomo Mitsui Banking Corporation Tokyo bertindak sebagai security agent.
Guna memenuhi persyaratan Financial Lease Agreement (FLA), PLN telah membentuk dana cadangan pada escrow agent untuk jaminan pelaksanaan operasi, pemeliharaan dan pengadaan bahan bakar serta untuk angsuran sewa pembiayaan.
Berikutnya, pada 2015, PLN pun memiliki utang kepada kontraktor listrik swasta (independent power producer/ IPP) terkait perjanjian jual beli tenaga listrik (power purchase agreement/ PPA) dan kontrak penjualan energi (energy sales contract/ESC) yang ditentukan mengandung sewa menurut ISAK 8 dan diklasifikasikan sebagai sewa pembiayaan.
Sebagai dampak diterapkannya POJK No.6 secara prospektif mulai 1 Januari 2016, PPA dan ESC yang telah diklasifikasikan ke dalam sewa pembiayaan tersebut diperlakukan sebagai transaksi jual beli. Beban bunga dan keuangan terkait sewa pembiayaan CJP pada periode tiga bulan yang berakhir 31 Maret 2017 sebesar Rp 848,8 miliar.
Sementara, total aset PLN saat ini mencapai Rp 1.288,95 triliun. Ironisnya dari nilai ribuan triliun rupiah aset tersebut yang masuk kategori aset lancar hanya Rp Rp 102,62 triliun. Sisanya sebesar Rp 1.186,33 triliun merupakan aset tidak lancar.
Kondisi tersebut semakin diperparah bahwa perseroan mengalami rugi usaha sebelum subsidi sekitar Rp 1,2 triliun. Adanya subsidi listrik dari pemerintah sebesar Rp 11,7 triliun menyebabkan PLN bisa meraup laba usaha setelah subsidi sebesar Rp 10,5 triliun.
Pinjaman Non Program Percepatan
Di sisi lain, PLN juga memiliki pinjaman yang tidak terkait dengan program percepatan 35 ribu MW. Misalnya ke Bank Mandiri. Pada 27 Desember 2011, PLN memeroleh fasilitas kredit investasi sindikasi yang dikoordinasikan oleh Bank Mandiri sebesar Rp 7 triliun.
Adapun tingkat bunga per tahun sebesar rata-rata tertimbang suku bunga deposito berjangka dalam mata uang rupiah tiga bulan dari kreditur sindikasi +3,42 persen dan jatuh tempo pada 23 Oktober 2021.
Jumlah terutang atas pinjaman ini pada 31 Maret 2017 sebesar Rp 4,2 triliun. Jumlah pembayaran pokok pinjaman untuk periode yang berakhir pada 31 Maret 2017 sebesar Rp 218,75 miliar.
Lalu, pada 19 Desember 2016, PLN memeroleh fasilitas kredit investasi sindikasi sebesar Rp 12 triliun yang dikoordinasikan oleh Bank Mandiri, dengan tingkat suku bunga JIBOR tiga bulanan +1,92 persen per tahun.
Fasilitas kredit tersebut akan berakhir pada 19 Desember 2026. Jumlah terutang atas pinjaman ini pada 31 Maret 2017 sebesar Rp 12 triliun. Tidak ada pembayaran kembali pokok pinjaman selama tahun 2016.
Lainnya, pada Juni 2011, PLN memeroleh fasilitas kredit modal kerja sindikasi yang dikoordinasikan oleh BRI sebesar Rp 15 triliun, dengan tingkat suku bunga berdasarkan JIBOR tiga bulanan +1,65 persen dan jatuh tempo pada 21 Juni 2012.
Pinjaman ini telah mengalami beberapa kali perubahan. Pada 8 Juli 2015, fasilitas kredit ini diubah menjadi Rp 9 triliun dengan tingkat suku bunga pinjaman berdasarkan rata-rata deposito berjangka dalam mata uang rupiah tiga bulanan dari kreditur sindikasi +2,02 persen dan jatuh tempo diperpanjang sampai 21 Juni 2016.
Perubahan terjadi pada 21 Juni 2016, yaitu perubahan jumlah fasilitas kredit menjadi Rp 15 triliun dengan tingkat suku bunga berdasarkan rata-rata deposito berjangka dalam mata uang rupiah tiga bulanan dari kreditur sindikasi +2,45 persen dan jatuh tempo diperpanjang sampai 21 Juni 2017.
Perubahan berikutnya terjadi pada 9 September 2016, yaitu perubahan fasilitas kredit menjadi Rp 20 triliun. Perubahan terakhir pada 17 November 2016 yaitu perubahan fasilitas kredit menjadi Rp 28 triliun. Jumlah pembayaran kembali pokok pinjaman untuk periode tiga bulan yang berakhir 31 Maret 2017 sebesar Rp 9,5 triliun.
PLN juga diketahui melakukan investasi jangka pendek berupa deposito berjangka sebesar Rp 367,2 miliar. Rinciannya, ke BRI sebesar Rp 260 miliar dan Bank Mandiri Rp 107,2 miliar, dengan tingkat bunga deposito berjangka per tahun 6,5 persen hingga 7,25 persen.
Kinerja Anak Usaha
Pada 2017, salah satu unit usaha perseroan melakukan perubahan jenis usaha, yakni PLN Tarakan berubah menjadi perusahaan jasa pemeliharaan dan operasi.
Pada 2016, anak usaha PLN, PT Indonesia Power (IP), melakukan penambahan penyertaan saham di anak usaha lainnya, PT Indo Ridlatama Power (IRP), sebesar Rp 135 miliar yang meningkatkan modal disetor IP di IRP menjadi Rp 337 miliar atau setara 93,96 persen saham IRP.
Masih tahun lalu, IP juga melakukan penambahan penyertaan saham di anak usaha PLN yang lain, PT Artha Daya Coalindo (ADC), sebesar Rp 15 miliar yang meningkatkan modal disetor IP di ADC menjadi Rp 24 miliar atau setara 80 persen saham ADC.
Berikutnya, itu pun juga tahun lalu, anak usaha PLN yang lain, PT Prima Layanan Nasional Enjiniring (PLNE), melakukan penyertaan saham di anak usaha PLN juga, PT Prima Pow er Nusantara (PPN), sebesar Rp 15 miliar atau setara 99,99 persen saham PPN.
Reporter : HYN