Eksplorasi.id – Pemerintah diminta mewaspadai dampak tersembunyi tren harga minyak murah. Dalam jangka panjang, situasi ini dapat mempengaruhi perekonomian Indonesia. Pengurangan belanja investasi yang dilakukan perusahaan-perusahaan migas dapat mengancam ketahanan energi nasional.
Hal ini disampaikan para pembicara dalam Focus Group Discussion (FGD) yang diselenggarakan Indonesian Petroleum Association (IPA), Selasa (10/5) di Hotel Dharmawangsa, Jakarta.
Dalam perhitungan perusahaan riset Wood Mackenzie, secara global industri migas telah mengurangi belanja investasi hingga US$ 400 miliar sejak kuartal IV-2014 hingga kuartal II-2016. Sedangkan pada tahun ini, investasi kegiatan eksplorasi diperkirakan turun sekitar US$ 40 miliar.
Andrew Harwood, Senior Research Manager – Southern & South-Eastern Asia, Upstream Oil & Gas, at Wood Mackenzie, mengatakan kondisi serupa juga terjadi di Indonesia. Perusahaan-perusahaan migas utama di Indonesia telah menunda investasinya hingga US$ 7 miliar.
Jika situasi ini berlanjut dan tidak ada perbaikan dari pemerintah, produksi migas Indonesia diperkirakan merosot hingga 40 persen pada 2025. Ini disebabkan penundaan sejumlah proyek migas besar seperti Masela, Tangguh, dan Indonesian Deepwater Development (IDD).
“Harga minyak yang rendah akan memperburuk produksi dan prospek eksplorasi di Indonesia yang akan mengancam cadangan migas. Terutama ketika harga minyak naik seiring defisit pasokan minyak hingga 20 juta barel per hari pada 2025,” ujar Harwood.
Bagi pemerintah, berkurangnya produksi akan berimplikasi terhadap penerimaan negara. Alhasil, situasi saat ini seharusnya dapat menjadi pertimbangan pemerintah untuk melakukan reformasi kebijakan dan fiskal untuk memperbaiki iklim investasi di sektor migas.
“Terutama tingkat bagi hasil produksi migas Indonesia mencapai sekitar 80 persen, menjadikannya termasuk yang tertinggi jika dibandingkan rata-rata global sebesar 62 persen dan Asia Pasifik sebesar 70 persen,” kata Harwood.
Dalam lingkungan harga minyak saat ini, perusahaan migas terpaksa mengencangkan ikat pinggang dengan mengurangi investasi. Implikasinya, akan menyebabkan rasio pergantian cadangan (reserve replacement ratio/RRR) menurun.
“Sehingga produksi migas Indonesia kedepannya juga akan ikut menurun,” ujar Ronald Gunawan, IPA Board member.
Pada saat ini tingkat RRR Indonesia masih di bawah 50 persen, dan mengakibatkanselisih antara pasokan dan permintaan akan semakin besar. Apalagi, ke depan produksi migas lebih besar dari pengeboran lepas pantai (offshore) yang biaya produksi jauh lebih mahal dibandingkan pengeboran darat (onshore).
Rata-rata waktu yang dibutuhkan dari saat penemuan sampai produksi pertama meningkat secara drastis dari 5 tahun pada tahun 1970-an sampai lebih dari 15 tahun setelah tahun 2000-an. Ini mengakibatkan tekanan terhadap investor dan pelaku migas semakin tinggi untuk menjalankan kegiatannya di Indonesia.
Eksplorasi | Aditya | Antara