Eksplorasi.id – Permasalahan mahalnya harga minyak dalam negeri dibandingkan minyak impor sebenarnya bukan persoalan baru. Peraturan Menteri Keuangan No 107/2015 (PMK 107/2015) diklaim menjadi penyebab utama mahalnya harga minyak dalam negeri.
“Persoalan itu sudah dibahas sejak September 2015. Sudah satu tahun tidak ada solusinya. Mengapa menteri ESDM, menteri Keuangan, meneg BUMN, dan Pertamina tidak duduk satu meja menuntaskan hal ini?” kata Direktur Eksekutif Center of Energy and Resources Indonesia (CERI) Yusri Usman kepada Eksplorasi.id di Jakarta, Kamis (22/10).
Yusri mengatakan, jika melihat fakta yang ada saat ini sangat aneh dan lucu. Salah satu keanehan tersebut terlihat bahwa pihak luar bisa membeli minyak dari Indonesia lebih murah dibanding PT Pertamina (Persero) yang membelinya.
“Selama ini mereka (ISC) memang tidak punya itikad membeli minyak dalam negeri. Mungkin karena tidak ada ruang bagi ‘pemain tengah’ untuk meraup fee,” jelas dia.
Menurut Yusri, sistem pengenaan pajak yang dikenakan oleh perusahaan nasional, apalagi BUMN, mungkin hanya terjadi di Indonesia. “Kok sepertinya susah sekali Pertamina menyelesaikan persoalan ini. Kalau perusahaan nasional mau beli dibebankan pajak. Padahal, sejak awal eksplorasi semua KKKS sudah kena pajak, dalam membangun fasilitas produksi juga kena pajak,” ujar dia.
Baca juga :
Di satu sisi Yusri kembali mempertanyakan peran perwakilan pemerintah yang duduk sebagai komisaris di Pertamina. “Di jajaran komisarisnya ada duduk perwakilan dari pemerintah, seperti dari Kementerian BUMN, Kementerian ESDM, hingga Kementerian Keuangan. Tapi kok tidak bisa kasih solusi,” ujar dia.
Transparansi ISC
Sementara, terkait transparansi yang diklaim oleh Integrated Supply Chain (ISC), Yusri masih menyangsikannya. “Kalau transparan itu harus diumumkan siapa pemenangnya dan berapa harganya. Malah waktu zaman Petral, setiap pemenang sering diirilis oleh majalah Platts Singapura. Di sini malah tidak pernah,” ungkap dia.
Dia menambahkan, jika ada yang masih ‘disembunyikan’ oleh ISC, maka klaim transparan akan gugur dengan sendirinya. “Ini apanya yang transparan? Publik tidak bisa memonitor. Kalau publik bisa ikut monitor, ini bisa mengurangi potensi permainan seperti proses impor yang baru saja terjadi yang dilaksanakan oleh Glencore yang spesifikasinya tidak sesuai dalam kontrak,” katanya.
Baca juga :
Yusri berkomentar, belum lama ini diduga ISC mengimpor minyak dengan pemasok Glencore. Impor minyak dari Libya tersebut konon semestinya perbandingannya adalah minyak jenis Sarir 70 persen dan jenis Mesla 30 persen.
“Namun konon yang datang di Kilang Balikpapan kebalikannya, Sarir 30 persen dan Mesla 70 persen. Kalau ini benar, maka Glencore harus di black list. Infonya baru-baru ini tangkernya sudah merapat ke Balikpapan,” ujarnya.
Yusri berpendapat, jika kasus Glencore tersebut benar, maka akan mengulang kasus minyak Zatapi. “Tidak benar kalau alasan pemenang tender keberatan diumumkan hasilnya. Semestinya sebagai pemasok mereka harus ikut aturan Pertamina soal transparansi, bukan malah Pertamina ikut keinginan pemasok,” jelasnya.
Reporter : Ponco Sulaksono