Eksplorasi.id – Presiden Joko Widodo (Jokowi) diminta menolak rencana perubahan keenam Peraturan Pemerintah (PP) No 23/2010.
Regulasi itu mengatur tentang pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara.
Ada sebanyak 11 halaman beserta lampiran penjelasannya tiga halaman terkait rencana perubahan aturan tersebut.
Hal itu ditegaskan Direktur Eksekutif Center of Energy and Resources Indonesia (CERI) Yusri Usman di Jakarta, belum lama ini.
Dia mengatakan, kebijakan pemerintahan Jokowi di sektor energi pada tahun kelima akhir pemerintahannya saat ini sedang diuji benar.
“Apakah dia (Pemerintahan Jokowi) tetap konsisten dengan tema usungannya sejak awal soal sembilan program Nawacita dan Trisakti untuk mencapai kemandirian pengelolaan sumber daya alamnya, atau sudah pudar disaat memasuki tahun politik,” kata dia.
Menurut Yusri, beredar konsep akhir perubahan keenam dari PP No 23/2010. Konsep tersebut dikatakan matang karena sudah melewati proses harmonisasi di menko Perekonomian.
“Kini hanya tinggal menunggu waktu yang cocok pada momen yang tepat akan diteken oleh Presiden Jokowi,” jelas dia.
Penjesan Yusri, adapun perubahannya meliputi ketentuan pasal 112 ayat 2 dengan menambah 4 angka menjadi ayat 2a, 2b, 2c, 2d sehingga perubahan itu berpotensi melanggar Undang-Undang Minerba No 4/2009.
“Di sisi lain rencana perubahan keenam PP itu terkesan sangat kental tujuannya sebagai payung hukum hanya untuk kepentingan mengamodir pengusaha PKP2B (Perjanjian Karya Pertambangan Batubara) generasi pertama,” ujar dia.
Seperti diketahui, pemegang PKP2B generasi pertama akan berakhir kontraknya dalam beberapa tahun mendatang.
Ada tujuh perusahaan besar masuk kelompok tahap pertama, antara lain PT Tanito Harum yang akan berakhir pada 2019 dan PT Arutmin Indonesia (2020), PT Kaltim Prima Coal (2021).
Kemudian, PT Multi Harapan Utama (2022), PT Adaro Indonesia (2022), PT Kideco Jaya Agung (2022), dan PT Berau Coal (2025),” ucap dia.
Penjelasan Yusri, di dalam dasar pertimbangannya tertulis telah menyebutkan untuk memberikan manfaat yang optimal bagi kepentingan nasional dan kepastian berusaha bagi pemegang Kontrak Karya (KK) dan PKP2B yang akan berakhir jangka waktunya.
Walaupun perlu mengatur kembali ketentuan mengenai IUPK (Izin Usaha Pertambangan Khusus) Operasi Produksi sebagai perpanjangan kelanjutan operasi, lanjut dia, namun ada juga pertimbangan yang tak tertulis sebagai dasar kebijakan tersebut.
“Misalnya, jika dikelola oleh BUMN ditakutkan akan terjadi penurunan pendapatan negara. Tentu alasan tersebut terkesan mengada-ngada,” jelasnya.
Pasalnya, imbuh Yusri, hal itu bertentangan dengan realitas soal keberhasilan BUMN tambang PT Inalum yang sudah mendapat pendananaan dari menjual bond untuk membayar saham dan menguasai 51 persen saham PT Freeport Indonesia pada November ini .
Penegasan Yusri, faktanya hampir 60 persen pembangkit listrik PT PLN (Persero) dan industri lainnya yang menggunakan energi primer batubara sering mengalami kesulitan mendapat pasokannya ketika harga batubara melambung tinggi.
Dia menambahkan, apabila semua PLTU dalam proyek 35 ribu MW selesai dibangun tuntas, diperkirakan pada 2026 kebutuhan batubara PLN setiap tahunnya sekitar 180 juta metrik ton.
“Sehingga PLN ibarat tikus mati di lumbung padi, meskipun pemerintah telah menerbitkan PP No 8/2018 merupakan perubahan kelima dari PP No 23/2010,” jelasnya.
Isinya, yaitu mengubah dan menyisipkan pasal 85a tentang pemenuhan batubara untuk kepentingan dalam negeri sebagaimana dimaksud pasal 84 ayat 1, di mana menteri ESDM menetapkan harga jual batubara tersendiri.
Bahkan, terang Yusri, perubahan PP No 23/2010 yang keempat telah menerbitkan PP No 1/2017 sebagai dasar Kementerian ESDM memberikan IUPK kepada PT Freeport Indonesia.
“Faktanya, turunan dari PP tersebut telah melegalkan ekspor mineral mentah yang mengancam proses hilirisasi dalam UU Minerba pada pasal 102 dan 103,” terang dia.
Adapun poin penting dari rencana perubahan keenam produk PP tersebut adalah memberikan kewenangan kepada menteri ESDM untuk memperpanjang izin PKP2B tanpa proses lelang dan proses perpanjangan dimajukan menjadi paling cepat lima tahun sebelum berakhir izinnya.
Padahal, kata Yusri, sebelumnya bisa diperpanjang paling cepat dua tahun sebelum berakhir waktunya, dan terhadap luasan IUPK Operasi Produksi bisa di atas 15 ribu hektare (ha).
“UU Minerba No 4/2009 sudah mengatur tegas pada pasal 83 ayat d dengan luasan maksimal IUPK Operasi Produksi hanya 15 ribu ha,” jelasnya.
Pendapat Yusri, seharusnya Pemerintah Jokowi belajar banyak dari jejak pengelolaan SDA sektor migas masa lampau, karena hanya mengejar sumber devisa dari sektor migas dan kehutanan saja untuk menopang pembangunan saat itu.
“Sehingga kita menggenjot habis-habisan produksi dan sebagai eksportir migas terbesar, dan ironisnya sejak 2004 sampai sekarang menjadi importir migas terbesar,” ujarnya.
Bahkan, ungkap dia, celakanya menurut rilis terbaru Bank Indonesia diberbagai media pada 10 November lalu, ternyata impor migas pada kuartal III 2018 telah penyumbang terbesar terhadap defisit transaksi berjalan (Current Acount Deficit/ CAD), yang tertinggi dalam empat tahun terakhir.
“Semestinya Pemerintahan Jokowi membuat kebijakan untuk kepentingan nasional jangka panjang bahwa untuk semua kontrak PKP2B yang akan berakhir kontraknya, lebih baik terhadap potensi yang masih tersisa untuk diserahkan kepada BUMN tambang,” katanya.
Selanjutnya, sebagai pengelolaannya dengan memberi porsi 10 persen PI (Participating Interest) kepada BUMD daerah tambang.
Jika dengan alasan untuk memupuk modal dan berbagi risiko, kata Yusri, masih ada ruang dengan porsi paling banyak 39 persen dari dari sahamnya bisa dilakukan proses B to B oleh BUMN tersebut dengan mekanisme yang fair, transparan dan akuntabel.
Reporter: Sam