Eksplorasi.id – Pernyataan Presiden Joko Widodo bahwa mahalnya harga listrik EBT karena adanya broker dan makelar sesungguhnya tidak sepenuhnya benar.
Hal itu dikatakan oleh pemerhati energi dari UGM Fahmy Radhi kepada Eksplorasi.id di Jakarta, Rabu (28/12).
Pendapat dia, berbeda dengan bisnis gas yang dipenuhi makelar pemburu rente, bisnis di EBT, utamanya panas bumi, hampir tidak ada makelar dan broker.
“Lantaran bisnis panas bumu belum menarik bagi investor, apalagi bagi makelar. Kalau harga EBT Indonesia jauh lebih mahal dibanding Serawak (Malaysia) USD 2 sen/kWh, listrik tenaga surya di Uni Emirat Arab USD 2,9 sen/kWh, sedangkan harga listrik EBT di Indonesia USD 14 sen/kWh sangat wajar,” jelas dia.
Alasannya, imbuh Fahmy, pemerintah Malaysia dan Emirat Arab tidak hanya membangun infrastruktur yang dibutuhkan untuk pengembangan EBT, tetapi juga memberikan berbagai fasilitas pajak dan bunga serta subsidi, bahkan sewa lahan yang sangat murah.
Sedangkan di Indonesia, lanjut dia, hampir tidak ada fasilitas fiskal sama sekali, selain masih sangat minim infrastruktur yang dibutuhkan dalam pengembangan EBT.
“Oleh karena itu, tidak bisa dibandingkan apple-to-apple antara harga listrik EBT di Indonesia dengan Malaysia dan Emirat Arab. Persoalan bukan karena adanya makelar dan broker yang membuat harga EBT mahal, tapi lebih karena tidak ada fasilitas fiskal dan minimnya infrastruktur,” jelas dia.
Fahmy menerangkan, dirinya merasa khawatir para pembisik Jokowi tentang EBT tidak benar dan hanya untuk ABS (asal bapak senang, red) saja, sehingga Jokowi salah dalam melontarkan pernyataan tentang EBT.
“Kalau sudah salah menangkap permasalahan EBT, dikhawatirkan kebijakan pemerintah untuk EBT juga akan salah kaprah dan salah sasaran. Dampaknya, harga listrik menggunakan EBT selama akan menjadi mahal,” tegas dia.
Reporter : Samsul