Eksplorasi.id – SKK Migas harus menyampaikan tindak lanjut atas temuan hasil audit BPK kepada Komisi VII DPR, terkait dengan penjualan minyak ke kilang milik PT Tri Wahana Universal (TWU) yang dijual di bawah harga minyak mentah nasional (Indonesia Crude Price/ICP).
Hal itu menjadi salah satu kesimpulan dalam rapat dengar pendapat (RDP) antara Komisi VII dengan SKK Migas di Jakarta, Senin (5/12).
“Komisi VII meminta kepada kepala SKK Migas untuk menyampaikan jawaban tertulis kepada Komisi VII DPR paling lambat pada 13 Desember nanti,” bunyi kesimpulan RDP tersebut.
Anggota Komisi VII Eni Maulani Saragi kepada Eksplorasi.id mengatakan, jawaban tertulis wajib disampaikan Kepala SKK Migas Amien Sunaryadi untuk melihat adakah potensi kerugian negara akibat penjualan minyak yang di bawah ICP.
“Karena setahu saya belum pernah ada perusahaan bisa beli minyak di bawah ICP, apalagi ini yang beli perusahaan swasta. Kami harapkan SKK Migas bisa memberikan jawaban yang masuk akal,” kata dia.
Sebelumnya, Direktur Eksekutif Center of Energy and Resources Indonesia (CERI) Yusri Usman kepada Eksplorasi.id juga pernah berkomentar, negara mengalami kerugian sebanyak tiga kali ketika menjual minyak bagian negara dari Banyu Urip ke PT TWU).
“Kalau dijual di Floating Storage and Offloading (FSO) Gagak Rimang maka akan didapat harga ICP+alpha, di mana alpha adalah premi yg ditawarkan oleh buyer saat tender penjualan minyak. Dalam hal ini menjadi ICP +USD 2,” kata dia.
Namun, lanjut Yusri, jika dijual di plant gate maka negara tidak akan memeroleh alpha tersebut. Bahkan, imbuh dia, dalam kasus ini malah dihargai di bawah ICP, yakni ICP Arjuna –USD 4,76 per barel.
“Jadi negara menjual minyak di bawah ICP, kemudian untuk memenuhi kebutuhan kilang, negara (via Pertamina) membeli minyak lain seharga ICP +USD 2. Selisih harganya maka menjadi USD 2 + USD 4,76 menjadi USD 6,76 per barel. Apakah ini selisih harga ini bukan kerugian negara?” tanya Yusri.
Kedua, terang Yusri, EMCL memiliki pipa untuk mengangkut minyak dengan kapasitas penuh 165 ribu bph ke FSO Gagak Rimang.
“Tapi sebagian kapasitas pipa tersebut menjadi idle. Lalu di sisi lain negara seolah menyewa ‘pipa’ lain dengan toll fee seharga USD 4,76 per barel untuk mengangkut minyak tersebut ke pembeli, dalam hal ini TWU. Apakah ini juga bukan kerugian negara?” jelas dia.
Jadi, menurut Yusri, setidaknya dalam kasus ini negara mengalami rugi tiga kali. Pertama, dari kehilangan margin USD 2 per barel. Kedua, negara harus membayar toll fee ‘pipa’ lain sebesar USD 4,76/barel. Ketiga, negara kehilangan kesempatan menggunakan pipanya sendiri.
Lainnya, FSO Cinta Natomas yang dioperatori Joint Operating Body Pertamina PetroChina East Java (JOB P-PEJ) juga tidak maksimal kapasitasnya karena tidak memeroleh pasokan minyak dari Banyu Urip. Bahkan pipa yang menyalurkan minyak dari Banyu Urip ke FSO Cinta Natomas hingga saat ini dalam posisi tidak terpakai.
Reporter : HYN