Eksplorasi.id – PT Geo Dipa Energi (Persero) alias GDE tidak sepatutnya berlindung di balik program kelistrikan 35 ribu MW dalam kasus dengan PT Bumigas Energi. Pasalnya, hal itu merupakan kelalaian manajemen GDE.
Hal itu ditegaskan oleh Ketua Umum Asosiasi Daerah Penghasil Panas Bumi Indonesia (ADPPI) Hasanuddin kepada Eksplorasi.id di Jakarta, Jumat (12/5).
“Pemegang kuasa pengusahaan (PKP) sebenarnya hanya PT Pertamina (Persero), sebagaimana Keppres No 22/1981 dan Keppres No 45/1991,” kata dia.
Namun, imbuh dia, terjadi pengecualian untuk PLTP Dieng dan PLTP Patuha tanpa melalui dasar hukum yang jelas. “Wajar saja kalau Bumigas kemudian mengajukan gugatan,” ujar dia.
Penjelasan Hasanuddin, GDE mendapatkan kuasa pengusahaan, padahal kuasa hanya diberikan untuk Pertamina. Meskipun GDE dibentuk antara PLN-Pertamina, tapi Keppres No 22/1981 dan Keppres No 45/1991 tidak mengatur hal ini.
“Semestinya yang ada adalah Pertamina sebagai pemegang kuasa pengusahaan dapat melakukan kontrak operasi bersama (KOB). Seharusnya yang pantas menyebut kriminalisasi bukan GDE, namun mantan dirut yang saat ini menjadi tersangka,” jelas dia.
Situs resmi GDE menyebutkan, perseroan didirikan pada 2002 sebagai perusahaan patungan (joint venture) Pertamina dan PLN untuk mengelola lapangan panas bumi Dieng dan Patuha, dan mengoperasikan PLTP Dieng unit 1 (60 MW).
Kemudian pada 2011, GDE ditetapkan sebagai BUMN melalui PP No 62/2011. Saat ini pemegang saham GDE terdiri atas PLN 6,67 persen dan pemerintah Indonesia 93,33 persen.
Menurut Hasanuddin, rapat pada 18 Januari 2005 direkomendasikan agar Pertamina segera menverahkan (relinguishment) area kontrak di lapangan panas bumi Dieng dan Patuha yang berada di dalam WKP Pertamina kepada pemerintah untuk kemudian diserahkan kepada GDE.
Pada 4 September 2001, lanjut dia, menteri Keuangan melalui Surat No 436/MK 02 12-001, menunjuk PLN sebagai pengelola proyek PLTP Dieng-Patuha.
Sebelumnya, pada awal Maret 2017, Bambang Siswanto sebagai pelapor dugaan penipuan terdakwa mantan Dirut GDE Samsudin Warsa, mengatakan, GDE tidak memiliki izin usaha pertambangan (IUP) PLTP Dieng Patuha, sehingga Bumigas mengalami kerugian ratusan miliar.
“Kasus ini sederhana kami meminta bukti IUP pada Geo Dipa. Bumigas sudah berulangkali berkorespodensi sejak 2005 untuk meminta bukti itu,” katanya dalam sidang lanjutan perkara dugaan penipuan dengan terdakwa Samsudin Warsa di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, Rabu (1/3).
Penegasan Bambang, jika GDE sudah bisa menunjukkan bukti itu maka permasalahan selesai. Bahkan diketahui GDE tidak memiliki hak atas lahan PLTP Dieng Patuha itu, melainkan yang memiliki sebenarnya adalah Pertamina yang dikelola oleh anak perusahaannya, PT Pertamina Geothermal.
“Bumigas sudah meneken perjanjian kontrak pada 2005 dengan GDE yang ternyata diketahui sama sekali tidak memiliki IUP. Bumigas sudah melakukan pembangunan prasarana dan sarana seperti jalan, jembatan dan tenaga kerja yang nilainya saat itu mencapai Rp 149 miliar. Sampai sekarang Bumigas tidak bisa beroperasi, melainkan dioperasikan oleh GDE,” tegas dia.
Sekedar informasi, kasus bermula pada 22 Oktober 2002, Bumigas mengikuti tender proyek PLTP Dieng Patuha. Tender digelar pada akhir Januari 2003 yang diikuti oleh lima perusahaan, termasuk Bumigas.
Kemudian Bumigas ditetapkan sebagai pemenang tender namun tidak mendapatkan persetujuan dari pemegang saham GDE, yang belakangan mendapatkan persetujuan pemegang saham.
Reporter : HYN